Mohon tunggu...
Muhammad Ilham Nur Ikhsan
Muhammad Ilham Nur Ikhsan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Orang boleh lupa tapi catatan selalu mengingatkan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bung ! Contohlah SBY dan Habibie

1 Juni 2023   23:23 Diperbarui: 2 Juni 2023   13:08 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: infobekasi.co.id

Cawe-cawe adalah  diksi yang akhir-akhir ini sedang marak menjadi bahan perdebatan, baik di sosial media maupun sudut-sudut kedai kopi tanah air. Diksi cawe-cawe menjadi semakin liar dan seolah menjadi bola panas ketika presiden pada Senin, 29 Mei 2023 dengan dalih demi bangsa dan negara serta keberlanjutan program kerja  selama 10 tahun  memastikan  diri  ikut serta cawe-cawe dalam pilpres 2024.  Keberlanjutan diartikulasikan bahwa segala bentuk capaian pemerintah, mega proyek dan program-program yang belum tuntas saat ini harus dilanjutkan oleh presiden  setelahnya. Namun,  penegasan cawe-cawenya presiden seolah menyiratkan pemimpin selanjutnya harus sesuai selera. Segala bentuk daya dan upaya dikerahkan, terkesan tidak ada harapan lain untuk kemajuan negeri ini selain di tangan pengusung narasi keberlanjutan. Kelompok pengusung narasi  keberlanjutan pun  sibuk mengembar-gemborkan berbagai pesan simbolik menyongsong pilpres tahun 2024. 

Salah satu pesan simbol paling ikonik yang di tunjukan presiden ketika berpidato di hadapaan relawannya  adalah  "Pilihlah pemimpin yang rambutnya putih  atau yang wajahnya berkerut" (konon masyarakat mengartikan sebagai bentuk dukungan  ke GP atau PS ). Tidak berhenti disitu,  juga ketika berpidato di hadapan ribuan relawan, presiden  memastikan akan memberikan bisikan ke partai-partai politik tentang siapa calon presiden yang harus di dukung  pada pilpres nanti.

Sebagai bagian dari generasi milenial yang baru benar-benar merasakan dinamika pemilihan presiden  pada tahun 2009, terasa seperti ada sesuatu yang aneh dari dinamika saat ini. Dulu, pada tahun 2014 jelang periode ke dua pemerintahan SBY berakhir, tidak terlihat sikap dari seorang presiden SBY mengirim pesan simbolik, mengirim diksi simbolik,  menunjukan sikap tidak netral atau membuat  statement memastikan ikut cawe-cawe  pada  pilpres  tahun 2014. Padahal melihat realitas saat itu,  besan beliau menjadi salah satu kandidat calon wakil presiden yang ikut serta dalam kontestasi. Tentunya, dengan didukung segala jenis instrumen negara yang masih dalam genggamanya,  beliau dapat memanfaatkan momentum untuk memastikan kekuasaan masih berada di lingkaran dan kendali pasca lengser pada tahun 2014.  Sangat sportif , beliau justru memastikan diri tidak berada di pihak Prabowo atau Jokowi pada pilpres 2014.  Sikap yang ditunjukannya  kemudian menjadikan kami generasi baru penikmat sejarah dan hikmah-hikmahnya mencoba menemukan cara berpikir atau sikap apa yang sedang ditunjukan SBY saat itu, pelajaran apa yang sedang beliau wariskan ke generasi bangsa ini. 

Refleksi atas kejadian itu kemudian memunculkan pertanyaan   apakah beliau (SBY) tidak menginginkan adanya suksesor untuk melanjutkan  apa yang telah dibangun selama periode kepemimpinanya, atau  apakah beliau tidak memiliki ketakutan jika beliau mempunyai kesalahan fatal selama memimpin, dengan menunjukan sikap tidak cawe-cawe dan tidak memastikan suksesor justru membahayakan bagi diri, keluarga, atau kroninya (semua tahu apa yang terjadi dengan hambalang). Pikiran ini seolah di ajak menemukan jawaban  yang lebih jauh, apakah SBY sedang menunjukan cara berpikir dari pemimpin yang bukan negarawan, apakah itu cara bersikap dari pemimpin yang bukan seorang bapak bangsa, apakah itu cara berpikir pemimpin yang sedang tidak memikirkan keadilan dan kesetaraan, apakah itu cara berpikir pemimpin yang tidak mengerti arti dan substansi demokrasi atau apakah itu cara berpikir pemimpin  yang punya dosa di masa lalu dan takut dosa-dosanya terungkap setelah tidak lagi memegang instrument kekuasaan. Tetapi, rasa-rasanya akal sehat sulit untuk menerima itu. Sebaliknya, rasionalitas mengantarkan untuk melihat bahwa itu adalah sikap dari seorang negarawan sejati, suatu contoh  sikap seorang bapak bangsa, suatu sikap pemimpin yang menunjukan keadilan dan kesetaraan untuk semua golongan, suatu sikap yang menunjukan dia memiliki pemahaman mendalam tentang substansi dan nilai-nilai demokrasi sehingga partai-partai yang menjadi oposan pada eranya  bisa melenggang bebas untuk menawarkan petugas partai mereka kepada rakyat.

Sebagai pengagum BJ Habibie ingatan ini juga kembali pada tahun 1999.  Sikap kenegarawanan dan bapak bangsa SBY  juga pernah di tunjukan oleh Presiden Habibie ketika pidato laporan pertanggungjawaban beliau ditolak oleh MPR, beliau menunjukan komitmenya terhadap demokrasi dengan memastikan diri tidak ikut cawe-cawe lagi dalam kontestasi pilpres sekaligus memberikan karpet merah kepada Megawati Soekarno Putri dan K.H Abdul Rahman Wahid untuk  berkontestasi dan saling beradu gagasan. Lantas, apakah cara berpikir dan sikap presiden hari ini adalah antitesa dari pendahulunya?. Kita tentunya masih menaruh harapan dan prasangka baik bahwa beliau juga akan meluruskan jalan dan pada akhir episode dapat mengikuti  rekam jejak  pendahulunya sebagai guru bangsa. "Seorang politisi adalah orang yang politiknya  tidak anda setujui, jika anda setuju dengannya dia seorang negarawan" David Lloyd George.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun