Mohon tunggu...
Admin
Admin Mohon Tunggu... Jurnalis - Read To Write

Menulislah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Belajar Kepada Yusuf Muda; Eling dan Waspada terhadap Resiko Masa Depan

2 Maret 2023   13:22 Diperbarui: 2 Maret 2023   13:59 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dualisme cahaya merupakan fenomena dimana cahaya memiliki dua penjelasan yang berbeda. Pertama, cahaya bisa dianggap sebagai partikel. Kedua, cahaya bisa dianggap sebagai gelombang. Pada awalnya, pengalaman baru mengenai dualisme cahaya dianggap sebagai persoalan sudut pandang. Namun anehnya, serangkaian percobaan selalu menunjukkan bahwa adanya keterikatan yang kuat antara si pengamat dengan objek yang diamati. Dalam hal ini, kalau semisal kita menganggap cahaya adalah partikel, maka cahaya tersebut berlaku sebagai partikel, dan sebaliknya. Dan yang lebih membingungkan lagi adalah bahwa seberkas cahaya tersebut, pada waktu yang bersamaan, bisa menunjukkan sifat yang berbeda pada dua orang pengamat.


Kemudian, saat tekhnologi penelitian mulai berkembang, ilmuwan mulai mengembangkan tekhnik percobaan untuk mendekati gejala alam yang sebenarnya (tanpa bias dari alat dan metode). Ilmuwan mulai menduga-duga, jangan-jangan ada yang kurang pas baik pada alat percobaan atau metode yang selama ini kita gunakan. Dugaan ini pula yang kemudian membidani lahirnya Madzhab Frankfurt.

Jadi, kalau kita hanya berpijak pada fakta, ia tidak bisa dijadikan sebagai sesuatu yang fundamental sebagai dasar dari cara kita bersikap sekalipun fakta-fakta itu ada dan sesuai dengan percobaan. Sebab, hasil percobaan membutuhkan interprestasi dari seorang peneliti. Hasil kesimpulan dari masing-masing peneliti tergantung pada semangat metafisika dan kekuatan penalarannya.

Ada contohnya? Ada. Einstein misalnya, dari kekuatan penalarannya kemudian ia menyimpulkan bahwa semesta raya ini mengembang. Berbeda dengan Huble, Ia mengatakan bahwa alam semesta ini berkembang karena ada data-percobaan. Einstein bisa menjelaskan mengapa alam semesta ini mengembang, sementara Huble, harus berguru ke Einstein untuk memahami mengapa semesta raya ini mengembang.

Einstein menyadari kelemahan pada tekhnik percobaan, tetapi bagi Einstein tekhnik percobaan itu salah satu yang berharga yang dimiliki oleh umat manusia, tentu dengan tanpa melupakan kekuatan dari metafisika. Karena tanpa metafisika, bagi Einstein kita tidak punya gairah untuk melakukan penelitian. Ilmu jadi mandek. Menurut Einstein, ilmu tanpa agama merupakan suatu kepincangan, agama tanpa ilmu adalah kelumpuhan. Dengan kata lain metafisika sangat dibutuhkan agar hidup ini menjadi beralasan.

Kalau contohnya di ilmu sosial ada? Ada. Kalau misalnya kita lihat data, untuk mencapai tingkat kesejahteraan maka perlu sekali menggenjot produksi. Namun, kesejahteraan yang meningkat itu nantinya  akan diikuti oleh tingkat orang kaya yang semakin kaya, dan berlaku sebaliknya. Itu artinya, kita tidak cukup mengandalkan data. Butuh idiologi atau semangat metafisika untuk menjelaskan dan bersikap terhadap data.

Abad Pasifik itu merupakan pengetahuan metafisika bukan semata-mata gerak modal yang hanya bisa dipahami melalui pendekatan statistik plus ilmu ekonomi. Sebab, para senior dulu berkumpul dan tampak bersusah payah untuk melakukan upaya kontruksi sebuah penjelasan agar semesta raya ini bisa dipahami sebagai sesuatu yang menyeluruh, berlaku di bumi juga di langit.

Melalui kajian Abad Pasifik pula, kita menjadi mudah untuk memahami mengapa sepertinya secara somborono akademikus kita berpendapat diruang publik. Ternyata karena mereka melupakan basis penalaran keilmuaannya (metafisika). Dan lebih parahnya lagi, sewaktu masuk ke ruang publik, melupakan alasan didirikannya sebuah negara.

Tapi bagaimanapun, dengan segala cara kita perlu untuk selalu membicarakan soal kemungkinan untuk menjalani hidup bersama jika tidak mau segera punah. Sebab, senjata yang digunakan oleh musuh sekarang ini tidak dikenal oleh founding father kita dulu. Musuh menggunakan metode ilmiah untuk menyerang lawan. Dan, keefektifan serangan itu  dikembangkan melalui metode ilmiah pula. Kita perlu eling lan waspada.

Cara eling lan waspada bagaimana? Mulailah memahami kisah nabi Yusuf bukan dari sudut pandang menahan godaan Juaiha. Melainkan, pada kemampuan Yusuf muda dalam melihat dan bersikap terhadap resiko dimasa depan. Tanpa melihat resiko, Julaiha mungkin sudah diajak ke semak-semak. Kita tahulah bagaimana gairah Yusuf muda. :-)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun