Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sejak kelahirannya pada 5 Februari 1947 hadir sebagai organisasi yang tidak hanya berorientasi pada pengembangan intelektual, tetapi juga membentuk kader umat dan bangsa. Dalam Anggaran Dasar HMI disebutkan bahwa tujuan HMI adalah "terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridai Allah SWT" (AD HMI, Pasal 4). Namun, idealisme tersebut kini mulai tergerus. Kader-kader HMI tampak lebih sibuk mengisi panggung politik dan forum kekuasaan, dibanding hadir di tengah masyarakat sebagai penggerak sosial-keagamaan.
Fenomena ini menunjukkan adanya keterputusan antara nilai dasar perjuangan HMI dan praktik kaderisasi hari ini. Nilai-Nilai Dasar Perjuangan (NDP) yang disusun oleh Nurcholish Madjid di HMI Cabang Ciputat pada tahun 1977 menjadi dokumen penting yang seharusnya menjadi pedoman arah gerak kader. Dalam NDP, Cak Nur menyatakan bahwa perjuangan kader HMI harus berangkat dari kesadaran iman yang berorientasi sosial dan kemanusiaan. Ia menulis bahwa "agama bukan sekadar masalah keyakinan, tetapi juga pembebas manusia dari ketertindasan dan kebodohan" (Nilai-Nilai Dasar Perjuangan, 1977).
Namun realitas menunjukkan bahwa ruang-ruang pengabdian sosial-keagamaan seperti masjid, majelis taklim, dan forum-forum keagamaan mulai kosong dari kehadiran kader HMI. Fungsi-fungsi strategis seperti menjadi khatib Jumat, penceramah, pengajar mengaji, dan penggerak dakwah di kampung-kampung kini justru lebih banyak diisi oleh kelompok lain yang tidak jarang membawa semangat keislaman yang eksklusif dan jauh dari semangat inklusif-transformasional yang diperjuangkan HMI. Menurut Alm Prof. Azyumardi Azra dalam bukunya Islam Substantif: Mengurai Problematika Keumatan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan (Mizan, 2005) menegaskan bahwa masjid dalam sejarah Islam di Nusantara bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat pendidikan, advokasi sosial, dan pemberdayaan umat.
Kondisi ini menyiratkan adanya krisis orientasi. Kader HMI yang semestinya menjadi aktor perubahan sosial justru terjebak dalam rutinitas pergerakan yang elitis dan menjauh dari denyut nadi umat. Politik menjadi panggung utama, sementara masjid---yang dulu menjadi basis perjuangan intelektual dan spiritual terabaikan. Padahal dalam semangat NDP, perubahan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari peran kader dalam menumbuhkan kesadaran keagamaan yang membebaskan dan mencerdaskan.
Revitalisasi peran sosial keagamaan kader HMI adalah tugas mendesak. Kembali ke semangat NDP bukan sekadar romantisme masa lalu, tetapi upaya menyambung kembali idealisme perjuangan dengan realitas umat hari ini. Kader HMI perlu merebut kembali ruang-ruang pengabdian keagamaan. Mereka harus menjadi khatib yang menyuarakan keadilan, penceramah yang membangkitkan harapan, dan penggerak dakwah yang menyalakan semangat perubahan sosial di akar rumput.
Maka, sudah saatnya HMI kembali ke masjid, ke forum pengajian, ke ruang-ruang sunyi yang dulu pernah menjadi medan perjuangan spiritual dan sosial. Politik boleh tetap dijalani, tetapi ia harus dijiwai oleh nilai-nilai dasar perjuangan: iman, ilmu, amal, dan tanggung jawab sosial. Inilah jalan pulang yang harus ditempuh oleh kader HMI hari ini kembali ke akar ideologisnya di Ciputat, kembali ke semangat NDP yang dibangun dengan keringat intelektual dan spiritual Cak Nur dan generasi awal HMI.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI