Rasanya baru kemarin duduk di kelas, sibuk dengan tugas kuliah, rapat organisasi, sampai jadwal kegiatan pesantren yang padat. Hidup terasa penuh rutinitas tapi jelas: ada kelas jam segini, ada rapat malam ini, ada kajian besok pagi. Semua terukur, meskipun kadang bikin lelah. Tapi begitu lulus, semua itu hilang seketika. Dunia nyata menunggu dengan wajah aslinya dan di situlah aku benar-benar merasakan apa artinya "welcome to the jungle."
Hidup setelah lulus S1 itu bukan lagi soal IPK, bukan lagi soal siapa yang paling aktif di organisasi, tapi soal bagaimana bertahan hidup. Dunia kerja tidak selalu ramah, bahkan kadang tega. Ada teman yang langsung dapat pekerjaan bagus dengan gaji stabil, ada juga yang harus muter-muter dulu, kerja apa aja asal halal, sambil tetap mencari yang sesuai. Jujur, di titik ini aku merasa semua bekal dari pesantren dan organisasi diuji habis-habisan. Disiplin, sabar, komunikasi semuanya dipraktikkan, bukan lagi sekadar teori.
Yang bikin tambah "seru", standar sosial tiba-tiba datang silih berganti. Pertanyaan-pertanyaan klasik mulai menghantui: "Kerja di mana sekarang?", "Udah mapan belum?", sampai "Kapan nikah?". Seolah-olah setelah toga dilepas, hidup harus langsung punya checklist: kerja tetap, gaji lumayan, rumah sendiri, lalu menikah. Padahal kenyataannya nggak semudah itu, Ferguso! Dunia nyata penuh lika-liku, kadang kita harus jatuh dulu, beradaptasi dengan pekerjaan yang jauh dari ekspektasi, atau bahkan menunda banyak hal karena kondisi belum memungkinkan.
Tapi di balik semua tekanan itu, aku belajar bahwa hidup memang bukan lomba lari sprint, melainkan maraton panjang. Ada yang cepat sampai di garis tertentu, ada yang lambat, tapi masing-masing punya jalannya sendiri. Mapan bukan hanya soal punya gaji besar atau rumah megah, tapi soal bisa berdiri di atas kaki sendiri, tahu apa yang sedang diperjuangkan, dan tetap bersyukur dengan proses yang dijalani.
Soal jodoh juga menarik. Banyak orang merasa setelah lulus, waktunya harus segera "settle" dengan pasangan. Nyatanya, jodoh tidak datang hanya karena umur sudah cukup atau status pendidikan sudah selesai. Ia lebih sering hadir ketika kita fokus memperbaiki diri, membangun hidup, dan menjaga niat yang baik. Dan kalaupun belum datang, bukan berarti gagal, mungkin memang masih dalam proses disiapkan yang lebih pas.
Yang juga penting aku rasakan adalah bahwa kesejahteraan itu luas sekali. Bukan cuma soal uang, tapi juga soal kesehatan fisik, mental, relasi, dan spiritualitas. Kalau hati nggak tenang, sebanyak apapun gaji, tetap ada rasa kosong. Kalau badan nggak sehat, semua target jadi berat. Di sini aku merasa bekal dari pesantren rutinitas ibadah, kesederhanaan, dan nilai kesabaran jadi pondasi kuat untuk bertahan. Ditambah pengalaman organisasi, aku terbiasa menghadapi masalah dengan kepala dingin dan nggak gampang menyerah.
Jadi, menurutku, fase setelah lulus ini memang hutan belantara. Penuh pohon rimbun, jalan bercabang, bahkan hewan buas yang mengintai. Tapi juga penuh kejutan indah: bunga yang mekar, cahaya yang menyelinap, dan kesempatan menemukan jalur baru. Hidup memang keras, tapi bukan berarti tidak bisa dinikmati. Kuncinya ada di cara kita melihat dan menjalaninya apakah hanya fokus pada tekanan, atau juga bisa mensyukuri proses.
Akhir kata, aku belajar untuk tidak terburu-buru. Hidup punya waktunya masing-masing, dan tugasku hanyalah terus berjalan. Kalau tersesat, cari jalan lagi. Kalau jatuh, bangkit lagi. Karena pada akhirnya, "welcome to the jungle" bukan sekadar slogan, tapi panggilan untuk berani bertahan, berproses, dan menemukan siapa diri kita sebenarnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI