Mohon tunggu...
Muhamad Fajri Ikhsan Qalby
Muhamad Fajri Ikhsan Qalby Mohon Tunggu... Mahasiswa - Fajri

Mahasiswa program studi Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung angkatan tahun 2020 Penggila bola basket dan suka menonton anime, tertarik dengan pemikiran dan filsafat serta sering mengalami keresahan namun menolak menjadi manusia yang meresahkan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Seberapa Sakral Agama dalam Pikiran dan Kehidupan Kita?

13 Januari 2023   21:25 Diperbarui: 13 Januari 2023   21:27 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika kita berbicara mengenai nilai-nilai sakral dalam agama, maka orang yang paling dekat untuk dijadikan rujukan adalah Mircea Eliade. Ia menerangkan bahwa ada dua dimensi berbeda dalam kehidupan kita ketika bersinggungan dengan nilai-nilai ajaran agama, yaitu dimensi ‘dunia biasa’ dan ‘dunia sakral’. Hal ini dimaksudkan agar ketika kita berusaha mendalami nilai-nilai yang ada dibalik sebuah fenomena keagamaan maupun hal-hal semacamnya, kita tidak akan membicarakan hal-hal yang seharusnya sakral malah menjadi nilai yang cukup remeh dengan dalih menyederhanakan nilai-nilai kegamaan tersebut agar dapat dipahami oleh orang banyak.

Walaupun keputusan untuk menyederhanakan konsep yang diajarkan oleh agama agar mudah dipahami misalnya untuk kepentingan mengajar orang-orang yang baru saja berpindah agama (dalam konteks agama Islam yaitu mualaf) itu diserahkan oleh orang yang mengajar yaitu pemuka agama seperti ustadz atau kyai yang bertanggung jawab atas edukasi agama si mualaf tersebut. Namun bagi orang-orang yang memang fokus untuk mempelajari agama dan bukan dalam tahap awam atau pemula seperti mualaf tadi, memang harus ditekankan bahwa setiap nilai-nilai yang diajarkan oleh agama memiliki nilai-nilai yang sakral dan tidak bisa dianggap remeh.

Selain itu, ketika kita berusaha menyederhanakan ajaran agama, khususnya bagi orang yang sudah beragama sejak lama tersebut maka bisa menimbulkan salah pemaknaan, dalam artian bahwa si pembelajar tidak lagi mampu memahami kesakralan ajaran agamanya sendiri sehingga bisa menimbulkan sikap meremehkan atau tidak menghargai agama sebagai hal yang harus melekat dalam jiwanya, sehingga ketika dihadapkan dengan hal-hal yang sifatnya kebutuhan akademik dan edukasi kepada masyarakat yang lebih luas maka ia tidak mampu mengajarkan nilai-nilai agama secara akademik dan formal dengan menekankan elemen yang sakral dalam ajaran agama tersebut.

Maka dari itu kita sering menemukan kasus-kasus dimana orang-orang tidak menghargai waktu-waktu ibadah bahkan tidak bisa menghargai orang lain yang sedang beribadah, misalnya merekam orang yang sedang shalat dengan konteks bercanda, atau menjadikan ajaran agama yang bersifat spiritual sebagai candaan tanpa konteks dan tujuan edukasi. 

Menurut saya hal itu sangat disayangkan, dimana sebagian teman-teman kita yang memiliki keyakinan kuat akan ajaran agamanya menjadi risih dengan orang-orang yang membuat candaan-candaan tersebut. Feedback yang dihasilkan juga tidak bagus dan dapat menjadi sumber permusuhan dan konflik dalam lingkungan agama, ditambah dengan oknum-oknum provokator semakin memperparah konflik yang tercipta.

Dari paragraf diatas saja dapat diketahui bahwa dengan sebuah candaan akibat tidak memahami betapa sakralnya sebuah kegiatan ibadah dalam agama mampu menyebabkan konflik yang sangat serius dan mampu merusak keutuhan dan kerukunan dalam lingkungan sosial. 

Golongan yang satu mencela golongan yang lain, sehingga esensi agama yang selalu mengajarkan kebaikan dan keharmonisan sosial tidak akan terlihat, karena saya yakin, apapun agamanya pasti mengajarkan tentang kebaikan dan kerukunan sosial, namun dengan adanya oknum-oknum yang tidak teredukasi dengan baik mengenai nilai-nilai agama, maka dapat menyebabkan terjadinya perselisihan dan perpecahan dalam lingkungan sosial, walaupun agamanya sama.

Selain permasalahan diatas, menurut saya perbedaan-perbedaan dalam mazhab atau referensi sebagai tolak ukur pemikiran juga terjadi dikarenakan nilai-nilai agama yang diajarkan, khususnya pada dewasa ini, tidak menekankan esensi dan nilai-nilai kesakralan yang menjadi ruh dalam aktivitas keagamaan. Hal ini diperparah oleh para pengajar agama yang seharusnya mengajak kepada persatuan dan kerukunan umat beragama, justru malah menjadi provokator yang dapat membuat orang-orang awam yang masih harus diedukasi dengan baik, malah terlibat atau bahkan menciptakan permusuhan dalam lingkungan sesama agama.

Saya sendiri sering menyaksikan teman-teman saya yang berbeda mazhab terlibat dalam pertengkaran dan perselisihan hanya dikarenakan konflik dalam pembacaan basmalah pada surah Al-Fatihah dalam shalat. Menurut saya tindakan seperti itu dikarenakan oknum-oknum pengajar (baca: ustadz) yang tidak solutif dan mendamaikan serta mengedukasi dengan baik yang menekankan esensi dan nilai-nilai sakral sebuah aktivitas ibadah, malah melakukan branding terhadap orang-orang yang berbeda mazhab dan mengajarkan fanatik buta terhadap satu mazhab. Hal ini tentu tidak mampu menciptakan lingkungan umat agama yang solid dan memiliki rasa kekeluargaan sesama agama, hal ini justru memertajam permusuhan dan betapa rendahnya literasi agama dalam ruang lingkup spiritual walaupun berlabel pemuka agama.

Saya merasa, bahwa sejauh apa dan sebanyak apa buku yang dipelajari oleh seorang penuntut ilmu agama, tidak menjamin kedewasaan berpikir bagi orang tersebut agar menciptakan perdamaian dan keharmonisan sosial dalam ruang lingkup umat beragama, buktinya seperti yang saya jelaskan pada paragraf sebelumnya, bahwa teman-teman saya yang merujuk pada pengajaran orang-orang yang berilmu dalam agama namun tidak memiliki kedewasaan berpikir untuk mengajarkan hal yang bersifat esensial dan sakral bagi para muridnya, menciptakan konflik tak berujung dalam lingkungan kehidupan sosial para pengikutnya, mereka terkotak-kotak oleh sebuah dinding pembatas yang disebut mazhab, ormas, ustadz atau ulama yang diikuti sehingga solidaritas dan kerukunan yang sudah diajarkan oleh kitab suci menjadi tidak terimplementasi dengan baik.

Berangkat dari hal tersebut, maka saya bertanya-tanya, seberapa sakral ajaran agama sehingga tujuan yang sangat jelas ditekankan dalam kitab suci menjadi tidak terwujud. Hal sebaliknya seperti permusuhan, adu domba, perselisihan bahkan dalam hal yang seharusnya bisa didiskusikan dengan baik semakin tajam dan berada dalam titik nadir. Jika ajaran agama yang seharusnya sakral, menjadi bensin bagi api permusuhan bagi lingkungan umat sesama agama maupun antar agama, lalu apa fungsi agama bagi mereka selain identitas dan cara menunjukkan eksistensi diri?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun