Oleh: Muhamad Fajar Anugrah (Ketua FSLDK Priangan Timur)
Fenomena Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dewasa ini menarik untuk dikaji. Banyak LDK yang menunjukkan tingkat profesionalisme tinggi dalam menyelenggarakan event, mulai dari kajian, seminar, festival, hingga lomba-lomba yang dikemas secara kreatif. Namun, ada satu gejala yang patut dikritisi, yaitu LDK kerap kali minim strategi jangka panjang untuk membina kader. Seakan-akan keberhasilan dakwah diukur dari megahnya event yang digelar, bukan dari lahirnya kader dakwah yang militan dan alumni yang tetap konsisten di jalan perjuangan Islam pasca kampus.
Padahal tujuan utama dakwah kampus adalah mensuplai alumni yang berafiliasi pada Islam dan mampu mentransformasikan masyarakat menuju masyarakat madani. Jika orientasi dakwah tereduksi hanya sebatas seremonial, maka output LDK akan kehilangan ruhnya. Kondisi ini yang membuat LDK terjebak dalam pola pikir event organizer, sehingga aktivitas dakwah beralih menjadi sekadar proyek kegiatan. Kita perlu mengingatkan kembali visi dakwah kampus agar LDK tidak kehilangan arah dan tetap berporos pada pembinaan kader yang utuh, serta melahirkan alumni yang konsisten dalam melanjutkan estafet dakwah di tengah masyarakat.
LDK Bukan Event Organizer
Sejak awal kelahirannya, LDK bukan sekadar organisasi intra kampus. Ia hadir sebagai wadah perjuangan mahasiswa muslim untuk menjaga dan menyebarkan nilai-nilai Islam di lingkungan akademik. Sejarah mencatat, gerakan dakwah kampus memiliki peran penting dalam melahirkan generasi intelektual muslim yang kemudian berkontribusi di masyarakat, politik, pendidikan, hingga dunia internasional.
Namun, dalam praktiknya hari ini banyak LDK yang justru terjebak dalam rutinitas penyelenggaraan event. Produktivitas mereka lebih tampak dari kalender kegiatan yang padat, bukan dari kualitas kaderisasi atau pengaruh pada kebijakan kampus. Akibatnya, kader merasa “sibuk” tapi tidak selalu “berdampak.” Jika kondisi ini dibiarkan, maka LDK hanya sekadar organisasi mahasiswa bernuansa Islami, ia kehilangan ruh sebagai gerakan dakwah yang mempersiapkan rijalul ummah (para pemimpin umat).
Krisis Peran Alumni Dakwah Kampus
Ironi lain yang menjadi sorotan adalah lemahnya kesinambungan kaderisasi. Banyak aktivis LDK yang semasa kuliah begitu semangat berdakwah, tetapi ketika sudah menjadi alumni, militansi itu kian memudar. Mereka sibuk dengan pekerjaan, tetapi gagal menjadikan Islam sebagai orientasi utama dalam profesi dan kiprahnya di masyarakat. Akibatnya, transformasi dari kampus ke masyarakat tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pembinaan di internal LDK masih kurang menyentuh aspek life-long commitment terhadap dakwah. Kader dibentuk untuk aktif di kampus, tetapi tidak dipersiapkan untuk berkiprah setelah pasca kampus. Padahal kesinambungan dakwah sejatinya bergantung pada alumni yang progresif, yang tetap istiqamah dalam perjuangan Islam di tengah masyarakat.
Menguatkan Arah Kaderisasi
Menghadapi kondisi ini, penguatan pembinaan menjadi kebutuhan mendesak. Dakwah kampus harus menegaskan kembali bahwa inti dari gerakannya adalah tarbiyah atau pembinaan yang menyeluruh, berjenjang, dan kontinu. Event hanya akan bermakna bila ia menjadi bagian dari strategi pembinaan, bukan sebaliknya.