Selain faktor biotik, sektor bambu nasional turut terdampak oleh instabilitas ekonomi global dan keterlambatan adopsi teknologi baru. Iskandar et al. (2024) menyebutkan bahwa fluktuasi harga ekspor, lemahnya daya adaptasi pelaku industri kecil terhadap teknologi, serta minimnya dukungan regulasi menjadi penghambat utama pengembangan industri bambu yang berdaya saing.
       Sementara itu, perubahan iklim dan intensitas bencana alam juga memperparah kondisi ekosistem bambu. Hasil kajian Bredenoord et al. (2024) menunjukkan bahwa bambu yang tumbuh di kawasan rawan longsor atau banjir berisiko tinggi mengalami kerusakan struktural, terutama jika tidak disertai upaya konservasi dan penerapan teknik budidaya yang sesuai.
       Dengan demikian, ancaman terhadap bambu di Indonesia bersifat multidimensional, mencakup aspek ekologis, sosial, ekonomi, dan teknologi. Untuk menjaga keberlanjutan sumber daya ini, dibutuhkan strategi mitigasi terpadu yang mencakup perbaikan kebijakan konservasi, penguatan riset dan inovasi genetik, serta peningkatan kapasitas petani dan pengrajin bambu agar potensi ekonominya dapat terus dikembangkan tanpa mengorbankan kelestarian alamnya.
Solusi yang Telah dilakukan oleh Pemerintah
       Pemerintah Indonesia telah mulai menempatkan bambu sebagai bagian penting dalam strategi pembangunan berkelanjutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui program konservasi dan pemanfaatan bambu berkelanjutan mendorong pengelolaan bambu yang tidak hanya bernilai ekonomi tetapi juga ekologis. KLHK (2023) menegaskan bahwa pemanfaatan bambu secara tepat dapat berkontribusi pada penyerapan karbon, rehabilitasi lahan kritis, dan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Selain itu, kementerian tersebut juga menerbitkan Standar Khusus Pemanenan Bambu Lestari yang berfungsi sebagai pedoman teknis dalam menjaga keseimbangan antara produktivitas dan konservasi sumber daya bambu (KLHK, 2024).
       Dari sisi riset dan inovasi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berperan dalam mengembangkan teknologi pengolahan bambu yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Melalui penelitian mengenai material komposit berbasis bambu, BRIN (2024) berupaya meningkatkan nilai tambah produk bambu sekaligus memperluas potensi ekspornya. Penelitian tersebut juga menjadi dasar penguatan industri bambu nasional yang berorientasi pada ekonomi hijau.
      Sementara itu, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) turut mendukung penguatan rantai nilai bambu melalui program One Village One Product (OVOP). Program ini menyoroti pengrajin dan industri kecil seperti UD Bambu Cerah yang berhasil memanfaatkan bambu sebagai produk unggulan lokal dengan pendekatan ekonomi kreatif (Kemenperin, 2025). Pendekatan ini diharapkan mampu memperkuat posisi bambu sebagai bahan baku industri nasional sekaligus membuka lapangan kerja baru di daerah.
      Selain itu, sektor akademik juga berkontribusi dalam mendukung kebijakan pemerintah. Universitas Gadjah Mada (UGM, 2025) melalui kegiatan risetnya mengungkap potensi bambu dalam menyerap hingga 17 ton karbon per hektare per tahun, yang dapat dimanfaatkan untuk mitigasi perubahan iklim. Temuan ini memperkuat urgensi pengelolaan bambu berbasis konservasi dan penelitian ilmiah.
      Meskipun begitu, sejumlah tantangan masih perlu diatasi. Menurut Ekawati et al. (2022), keterbatasan kapasitas teknis masyarakat, rendahnya penerapan teknologi modern, serta minimnya dukungan kelembagaan di tingkat lokal menjadi hambatan utama dalam memperluas dampak ekonomi dari bambu. Oleh karena itu, kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, lembaga riset, industri, dan masyarakat diperlukan agar pengelolaan bambu di Indonesia dapat berkelanjutan serta memberikan manfaat ekologis dan ekonomi secara seimbang.
Efektivitas Pelestarian dan Pemanfaatan Bambu dalam Perspektif Balanced Scorecard
      Pendekatan Balanced Scorecard (BSC) dapat digunakan sebagai kerangka strategis untuk mengevaluasi efektivitas pelestarian dan pemanfaatan bambu di Indonesia. BSC menilai kinerja dari empat perspektif utama—keuangan, pelanggan, proses internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan—yang relevan untuk menilai keberlanjutan ekosistem bambu secara holistik (Elistia et al., 2024).
- Perspektif Keuangan. Dalam konteks bambu, dimensi keuangan mencerminkan bagaimana pengelolaan bambu mampu meningkatkan produktivitas dan pendapatan masyarakat lokal. Kementerian Perindustrian (Kemenperin, 2025) melalui program One Village One Product (OVOP) berhasil mengangkat bambu menjadi komoditas unggulan daerah, seperti UD Bambu Cerah yang meningkatkan nilai tambah produk bambu dari 15-20% menjadi lebih dari 35% setelah intervensi program. Inovasi industri ini memperlihatkan potensi bambu sebagai sumber pertumbuhan ekonomi hijau yang berdaya saing global.
- Perspektif Pelanggan (Masyarakat dan Pasar). Perspektif ini menyoroti bagaimana pelestarian bambu memberikan manfaat langsung bagi masyarakat dan konsumen. Menurut KLHK (2023), pemanfaatan bambu tidak hanya mendukung ekonomi desa, tetapi juga berperan dalam pengurangan emisi karbon hingga 17 ton per hektare per tahun (UGM, 2025). Kesadaran konsumen terhadap produk ramah lingkungan turut mendorong permintaan terhadap produk bambu, baik di pasar domestik maupun internasional. Namun, tantangan masih muncul terkait standarisasi mutu dan branding produk bambu Indonesia yang belum seragam.
- Perspektif Proses Internal. Dari sisi operasional, KLHK (2024) telah menetapkan Standar Khusus Pemanenan Bambu Lestari sebagai panduan teknis dalam memastikan praktik panen tidak merusak lingkungan dan menjaga regenerasi alami bambu. Selain itu, BRIN (2024) mengembangkan inovasi teknologi pemrosesan dan material bambu komposit yang meningkatkan efisiensi produksi hingga 40% dibanding metode konvensional. Penguatan kolaborasi antara lembaga riset dan industri lokal menjadi langkah penting dalam memperbaiki rantai nilai bambu nasional agar lebih efektif dan berorientasi pada konservasi.
- Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan. Dimensi ini berfokus pada penguatan kapasitas manusia, pengetahuan, dan inovasi. Menurut Ekawati et al. (2022), peningkatan keterampilan masyarakat dalam pengelolaan bambu berbasis teknologi dan manajemen modern masih menjadi tantangan besar. Oleh karena itu, beberapa universitas seperti UGM dan IPB bersama KLHK mulai meluncurkan pelatihan pengelolaan bambu berkelanjutan yang menggabungkan aspek sosial, ekonomi, dan ekologi. Inisiatif ini memperkuat literasi bambu sekaligus menumbuhkan wirausaha hijau di pedesaan.
     Melalui penerapan Balanced Scorecard, pelestarian dan pemanfaatan bambu tidak hanya dilihat sebagai aktivitas ekologis, tetapi juga sebagai strategi pembangunan nasional berbasis keberlanjutan. Integrasi antar perspektif memperlihatkan bahwa keberhasilan pengelolaan bambu membutuhkan keseimbangan antara keuntungan ekonomi, kesejahteraan masyarakat, efisiensi proses produksi, dan pembelajaran berkelanjutan. Namun, masih diperlukan sinergi lintas lembaga untuk memperkuat sistem pembiayaan hijau, regulasi mutu, serta pengembangan teknologi inovatif agar bambu dapat benar-benar menjadi instrumen ketahanan ekosistem dan ekonomi nasional.