Semoga Kesejahteraan atlet bukan sebuah wacana semata.
***
Hari ini (24/8/2016) atlet peraih medali di Rio Brazil, dijamu Presiden di istana. Di antaranya adalah pasangan atlet bulu tangkis Liliyana/Tontowi dan atlet angkat besi Eko dan Sri (masing-masing meraih medali perak). Keempat atlet ini bisa bernafas lega setelah kepastian mereka akan mendapatkan masing-masing 5 miliar rupiah untuk Liliyana dan Tontowi, sedangkan Eko dan Sri akan mendapatkan masing-masing 2 miliar rupiah. Di samping itu, para peraih medali ini akan mendapatkan tunjangan per bulan selama hidupnya sebanyak 20 juta untuk peraih emas, 15 juta untuk medali perak dan 10 juta untuk perunggu. Begitulah ucap Menteri Imam Nachrowi ketika konferensi pers di Bandara Soekarno Hatta kemarin (23/08/2016). Hari ini mereka akan menyerahkan kado istimewa tersebut sebagai kado HUT Kemerdekaan RI ke-71.
“Pemerintah ingin serius dan sungguh-sungguh menghormati dan memberikan penghargaan kepada para olimpian,” kata Imam Nachrowi (dikutip dari KOMPAS.com 2/8/2016). Presiden Jokowi melalui Menteri Pemuda dan Olahraga berkomitmen untuk memerhatikan atlet Indonesia. Paling tidak itulah yang terlihat di media sekarang ini.
Saya selaku warga Indonesia sangat mengapresiasi langkah pemerintah untuk serius memperhatikan olahraga kita. Tetapi muncul beberapa pertanyaan mendasar, lantas bagaimana nasib mereka yang tidak dapat medali atau para atlet kita yang tidak seberuntung kontingen yang berangkat ke Rio, Brazil?
Saya kira nada pesimis yang pernah dilontarkan Posmas Ramos Simanjuntak melalui artikel di Kompasiana (25/6/2015) dengan judul 'Nak, Hati-hati Menjadi Atlet di Indonesia' masih menjadi sebuah kekhawatiran tersendiri bagi para atlet. Para atlet memiliki beberapa kesempatan untuk menjadi juara di berbagai ajang internasional. Sudah sangat manusiawi jika di balik pengorbanan mereka untuk mengharumkan nama Indonesia, para atlet mengincar penghargaan yang prestisius tersebut.
Ibarat sebuah game, menang kalah merupakan hal yang biasa. Penghargaan kepada pemenang dan yang kalah harus bersabar. Tetapi saya kira ini hanya boleh dilakukan oleh para penyelenggara pertandingan. Soal atlet menang atau kalah, pemerintah wajib memperhatikan mereka.
Saya berharap pemerintah tidak hanya fokus pada pencapaian para atlet saja (focus on try to win). Penghargaan kepada mereka yang tanpa medali pun perlu diberikan. Contoh sederhana, hari ini (24/8/2016) kita tidak melihat kontingen Indonesia diundang secara utuh ke istana. Meskipun jamuan presiden bukan penentu hidup mereka ke depannya, tetapi para atlet tanpa medali ini pun perlu kita berikan apresiasi dan dilihat oleh seluruh masyarakat Indoneisa.
Saya ingin mencoba berpikir dari kacamata pemerintah. Mengapa yang diundang ke istana hanya peraih medali. Setidaknya ada dua kemungkinan yang menjadi alasan:
- Alasan administratif. Barangkali pemerintah tidak memiliki aturan yang memperbolehkan orang yang tanpa kepentingan masuk ke istana. Termasuk di dalamnya atlet tanpa medali. Dikarenakan mereka tidak bisa menyerahkan apa-apa, maka mereka tidak masuk dalam list undangan pak presiden,
- Alasan motivasi regenerasi. Jika semua atlet diundang ke istana, meski mereka tanpa prestasi, maka dikhawatirkan akan menimbulkan efek negatif untuk tunas atlet yang baru bermunculan. Seolah mereka akan membangun persepsi bahwa tidak apa-apa berprestasi, toh juga presiden tetap menghargai.
Entah apa yang menjadi alasan istana. Saya pikir masyarakat juga tidak terlalu peduli dengan hal itu. Masyarakat kita juga cenderung hanya mengapresiasi langkah pemerintah untuk memberikan kesejahteraan bagi peraih medali.
Saya juga ingin mengajukan pertanyaan lebih jauh. Bagaimana nasib mereka yang tidak pernah ikut Olimpiade? Atau jika ingin lebih jauh, bagaimana jawaban pemerintah untuk mereka pernah mengharumkan nama bangsa tetapi sudah pensiun?
Tidaklah terlalu sulit menemukan mantan atlet yang harus beruang keras menafkahi keluarga ketika mereka pensiun. Mereka yang pernah juara saja harus pontang-panting menjalani kehidupan masa tua, apalah lagi para atlet tanpa prestasi.
"Sebagian besar masyarakat di Tanah Air sudah melupakan nama Nanda Telambanua, pemecah rekor angkat berat dunia junior 1984, yang sempat mencari nafkah sebagai penarik ojek. Begitu juga dengan Martha Kase, peraih medali emas nomor lari SEA Games 1987, yang kini mengais rezeki hanya sebagai penjual teh botol. Peraih juara dunia tinju (IBF), Ellyas Pical, terpaksa sempat menjadi satpam diskotek pada masa pensiunnya. Namun, berkat uluran tangan mantan Menpora Adhyaksa Dault, mantan juara dunia itu kini diarahkan bekerja di kantor KONI/KOI," tutur Rudy Hartono, selaku Dewan Pengawas YOI (dikutip dari KOMPAS.com 1/6/2011). Masih banyak lagi atlet kita yang mengalami hal yang serupa.
Jika memang pemerintah ingin melupakan mereka yang sudah tidak produktif lagi. Maka komitmen pemerintah untuk memberikan kesejahteraan bagi atlet sekarang harus benar-benar menjadi nyata, bukan hanya wacana saja.
Muhamad Bai’ul Hak
- Penulis berharap ada tambahan informasi terkait perlakuan bagi atlet tanpa medali dan juga bagi atlet yang tidak ikut olimpiade. Perlakuan dalam hal ini adalah kepastian hari tua mereka,
- Mohon koreksi juga jika ada yang mengetahui informasi terkait kenapa yang diundang hanya peraih medali saja.
Terima kasih.
Lombok, 24/08/2016