Mohon tunggu...
Muhamad Mustaqim
Muhamad Mustaqim Mohon Tunggu... Dosen - Peminat kajian sosial, politik, agama

Dosen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sinetron Religi dan Tampilan Tuhan yang "Kejam"

12 Oktober 2018   07:46 Diperbarui: 12 Oktober 2018   13:11 748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Agama senantiasa menjadi 'komoditas' manis yang mampu menarik perhatian. Sesuatu yang dibungkus agama, selalu tampak santun, agamis, berpahala dan sebagainya.

Hal ini yang kiranya juga berlaku pada tayangan televisi. Tayangan atau program yang dibalut dengan nuansa religi akan menampakkan sisi-sisi esoterik, yang mampu membangun ghirah dan motivasi beragama seseorang. 

Namun tidak sedikit tayangan religi tersebut yang terkesan kamuflase, hanya sebatas tampilan sampul belaka. Beberapa aktris, presenter yang 'mendadak' religious, dengan tampilan balutan busana yang santri, kiranya hanya menuruti selera pasar penonton belaka. 

Lebih dari itu, tidak ada efek religi dalam perilaku dan keseharian sang model. Sehingga agama benar-benar telah menjadi komoditas bisnis para pelaku program televisi.

Belakangan ini, dunia hiburan trelevisi kembali diramaikan dengan tayangan sinetron religi bertema "adzab".

Kebanyakan dari tayangan tersebut berisikan tentang balasan dari amal dan perilaku kehidupan lakonnya, kadang baik dan tidak sedikit yang buruk.

Judul-judul seperti "Tukang Tahu Bulat Tergoreng Dadakan", "Jenazah Gosong Disambar Petir", "Jenazah Koruptor Masuk Molen" dan sebagainya adalah sederetan contoh tayangan tentang fenomena ini.

Menjamurnya tayangan seperti ini, atau yang penulis istilahkan dengan sinetron religi, memang berawal dari sebuah niatan yang baik.

Ironisnya, semua tayangan tersebut seringkali mempromosikan diri "berangkat dari kisah nyata". Padahal secara faktual, hal-hal yang seperti ini jarang kita temukan. 

Penulis sendiri secara pribadi tidak pernah menyaksikan langsung fenomena "pembalasan Tuhan" seperti ini. Dan di media pun, baik cetak maupun elektronik, "langka" memberitakan fenomena seperti ini, atau kalau ada, ya seribu satu macam.

Sangat tidak sebanding dengan tayangan TV yang banyak dan variatif, yang semuanya menyatakan sebagai kisah nyata.

Kalau begitu, apakah ini sebuah kebohongan publik? Atau hanya bahasa "iklan" sebagai pemanis untuk menarik orang?

Hidup di dunia, adalah cerminan realitas yang serba mungkin. Artinya, semua fenomena hampir selalu ada di dunia ini, dengan frekuensi intensitas yang berbeda tentunya. 

Dan dalam kacamata Islam, tampilan ke serba mungkinan (condition of possibility) ini, banyak digambarkan dari Alquran maupun sejarah Islam.

Alquran secara gamblang menceritakan tentang sosok manusia yang tidak punya ayah dan Ibu, yang kemudian bernama Nabi Adam. 

Alquran juga menggambarkan sosok manusia yang berayah tapi tidak beribu, namanya Siti Hawa'. Ada juga manusia yang beribu tapi tidak berayah, namanya nabi Isa.

Alquran juga menceritakan tentang manusia yang saleh tapi mempunyai anak yang durhaka, namanya nabi Nuh. Ada yang saleh tapi beristri durhaka, namnya nabi Luth. Ada juga, seorang saleh tapi ayahnya kafir, namanya nabi Ibrahim. 

Ada nabi dan rasul mulia, namun pamannya mati dalam keadaan kafir, mananya nabi Muhammad.

Terakhir, ada juga fenomena orang beriman yang "mengenaskan", Nabi Zakariya meninggal karena dibunuh, Nabi Ayyub mengalami sakit yang sangat menjijikkan. Sahabat Umar, Utsman dan Ali, semua meninggal karena dibunuh orang. Apakah semua ini karena amal perbuatan mereka? Wallahu a'lam.

Berbeda dengan umat-umat terdahulu, umat Muhammad adalah umat yang diberi dispensasi oleh Allah. Jika umat-umat sebelum Nabi Muhammad, ketika mereka melakukan kesalahan dan kedurhakaan mereka diadzab seketika itu juga di dunia, seperti umat Nabi Nuh diadzab banjir besar, ummat nabi Luth, diadzab badai batu, umat nabi Musa, diadzab jadi kera, serta banyak contoh lainnya. Namun umat Islam sekarang ini (umat Muhammad) di beri penangguhan adzab, yakni besok di akhirat. Dan inilah yang harus dipahami bersama.

Memang pada dasarnya tayangan tersebut sebagai bahan refleksi kita bersama, supaya perilaku kita mampu terarah dengan baik. Namun ada dampak yang "buruk" berkenaan dengan asumsi dan pola pikir penontonnya. Yakni, sindrom pembalasan atau sindrom "adzab". 

Berangkat dari tayangan religi yang "over acting" tersebut, orang kemudian menilai, jika ada orang yang mengalami "ujian" berupa sakit yang aneh atau lainnya, maka kemudian dijustifikasikan sebagai adzab. Yang kemudian memojokkan orang tersebut, sebagai orang yang pernah melakukan kedurhakaan dan perbuatan jahat. 

Ada orang yang sakitnya aneh, hingga meninggalnya. Orang kemudian beramai-ramai menagasumsikan itu terkena adzab Tuhan, sehingga mereka mencari-cari semua kesalahan dan aib orang tersebut di masa lalunya, sebagai penyebab "adzab" ini. 

Nah, yang ada kemudian adalah ketidak-adaan "amal baik" orang tersebut. Seakan-akan amal kebaikannya menjadi hilang dan tidak ada, hanya karena (tertutup) oleh sakit yang aneh ini, dengan sedikit sebab perilku jahat, yang mungkin malah tidak ada.

Tuhan Maha Pengasih

Sampai sini, sinetron religi dalam hal ini seakan-akan menampilkan sosok Tuhan yang kejam. Semua perbuatan jahat, pasti akan diadzab Tuhan di dunia. Padahal Tuhan, sebagaimana yang selama ini kita dzikirkan, kita lafalkan adalah Dzat yang maha pengasih dan penyayang (ar-rahman ar rahim). 

Dalam terminologi klasik, ar-rahman (pengasih) didefinisikan sebagai kasih sayang Allah kepada semua makhluknya, tidak peduli apakah ia beriman atau kafir. Dan ini di berikan dalam kehidupan di dunia. 

Orang yang kafir pada kenyataannya banyak yang kaya, walaupun juga tidak sedikit yang miskin.

Demikian juga orang yang beriman banyak yang miskin, meskipun tidak sedikit pula yang kaya. Ini juga berlaku dalam hal adzab, nikmat, kesehatan dan sebagainya. Itulah yang tadi kita sebut sebagai realitas yang serba mungkin.

Lain halnya dengan sifar ar-rahim (penyayang), sifat ini hanya diberikan dan berlaku hanya bagi orang yang beriman an sich, itupun ketika besok di akherat. Itulah keadilan Tuhan, Ia tetap maha kasih sayang kepada siapapun.

Dengan demikian, tidak sewajarnya, jika ke-maha kasih sayang-an Tuhan tersebut, ditampilkan secara kontradiksi, yakni Tuhan seakan-akan tidak menyayangi umatnya yang durhaka dan jahat, sebagaimana yang tampak pada sinetron religi. Apalagi kalau hal ini dijadikan "arena bisnis' dengan mengatas namakan agama dan Tuhan.

Realitas kehidupan hanya mampu dihadapi dengan pemahaman akan adanya konsep darroini, dua kampung, yaitu kampung dunia dan kampung akherat. Dunia adalah ladang, tempat kita menanam. 

Benihnya adalah amalan kita, ada benih yang baik dan juga benih yang buruk. Sedangkan akhirat adalah tempat (dan waktu) untuk menuai tanaman kita. Amalan yang baik, akan mendapat balasan yang baik, sekecil apapun. Dan amalan yang buruk akan mendapat balasan yang setimpal, sekecil apapun itu. Sehingga, apa yang terjadi di dunia ini, adalah ladang yang serba mungkin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun