Mohon tunggu...
Muhaimin Mufrad
Muhaimin Mufrad Mohon Tunggu... Mahasiswa Hukum

menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemilihan raya mahasiswa: demokrasi kampus yang di abaikan

7 Juli 2025   03:43 Diperbarui: 7 Juli 2025   04:02 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis: Muhaimin Mufrad

Pemilihan umum Raya Mahasiswa atau yang lebih akrab disebut pemira, adalah salah satu mekanisme paling penting dalam kehidupan organisasi mahasiswa di kampus. Pemilihan Raya (PEMIRA) sejatinya merupakan manifestasi demokrasi mahasiswa di lingkungan kampus. Ia adalah ruang artikulasi suara kolektif, medan pembelajaran politik, dan miniatur demokrasi nasional. Ia adalah ruang formal untuk memilih pemimpin mahasiswa, baik di tingkat fakultas maupun universitas, yang akan menjalankan roda organisasi dan menyuarakan aspirasi kolektif mahasiswa. Namun sayangnya, makna dan semangat di balik PEMIRA kini makin samar. Ia bukan lagi simbol perjuangan dan demokrasi, melainkan berubah menjadi ajang formalitas tahunan, bahkan menjadi panggung kekuasaan yang kotor.

Salah satu problem paling mencolok dalam pemira adalah dominasi segelintir kelompok yang merasa berhak menentukan siapa yang boleh dan tidak boleh maju. Organisasi mahasiswa yang besar, dengan jejaring kuat, sering kali menggunakan kekuasaan informalnya untuk mengatur jalannya PEMIRA, bahkan sejak tahap penjaringan calon.

Regenerasi kepemimpinan akhirnya tidak berjalan sehat. Calon-calon muda dengan gagasan segar dan integritas tinggi tersingkir karena dianggap "tidak punya backing." Yang dicari bukan pemimpin dengan visi, tapi yang mudah dikendalikan. Demokrasi kampus berubah menjadi oligarki kecil yang dijalankan dengan gaya feodal.

Dalam beberapa tahun terakhir, pemira diwarnai calon tunggal, pemilihan tanpa kampanye berarti, hingga partisipasi mahasiswa yang sangat rendah. Dalam sistem yang semakin tertutup ini, kita bukan sedang membangun demokrasi, melainkan menciptakan dinasti. Dinasti organisasi yang menutup pintu pada perbedaan.

Kandidat calon kerap muncul dari kelompok tertentu yang memang sudah "disepakati" sejak awal. Tak ada ruang bagi mahasiswa independen, tak ada panggung bagi mereka yang ingin melawan arus kekuasaan. Bahkan, ketika ada upaya pembaruan

Apakah ini wajah demokrasi yang kita dambakan?

Sebagai mahasiswa yang pernah menjadi bagian dari proses ini, baik sebagai pemilih, tim sukses, maupun pengamat. Kita Bersama sama menyaksikan bagaimana demokrasi kampus justru terdistorsi oleh kepentingan segelintir elite organisasi. Tidak jarang proses pemira diwarnai manipulasi, pemaksaan kehendak, bahkan pengkondisian calon tunggal. Di saat yang sama, mahasiswa biasa yang seharusnya menjadi subjek utama dalam demokrasi kampus justru dibiarkan apatis, acuh tak acuh, dan hanya menjadi penonton.

Pemira idealnya menjadi ajang pertarungan gagasan. Kandidat beradu visi, organisasi mahasiswa saling menguatkan posisi, dan pemilih diberi ruang menentukan arah gerakan kampus. Namun, pada kenyataannya, yang sering terjadi justru dominasi elite organisasi, pragmatisme politik, dan apatisme mahasiswa.

Tidak sedikit yang melihat PEMIRA hanya sebagai ajang politik transaksional, bagi bagi jabatan. Kampanye digelar asal jadi, debat kandidat kosong tanpa substansi, dan hasil pemungutan suara lebih ditentukan oleh "kekuatan jaringan" ketimbang kualitas gagasan. Bahkan, dalam beberapa kasus, calon tunggal menjadi pemandangan yang lumrah, seolah demokrasi telah mati

Di sisi lain, budaya apatis di kalangan mahasiswa semakin menguat. Sebagian besar enggan menggunakan hak pilihnya karena merasa bahwa hasil pemira tidak membawa perubahan berarti. Mereka jenuh terhadap pola yang terus berulang elite yang itu itu saja, agenda yang tidak pernah menyentuh kebutuhan mahasiswa, serta janji-janji politik yang menguap begitu jabatan diraih bahkan bagi bagi jabatan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun