Mohon tunggu...
Muh Fahrurozi
Muh Fahrurozi Mohon Tunggu... Human Resources - Penikmat Kopi

Hanya manusia biasa yang ingin mati dengan damai, sebab hidup adalah proses panjang dari bagaimana cara kita mati.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menunggu Sang Negarawan

5 Mei 2018   18:12 Diperbarui: 7 Juni 2018   08:05 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kenapa bisa ada para koruptor? sebab mereka tidak betul-betul dipilih oleh rakyat. Kertas suara yang tercentang ataupun ditusuk itu bukan samata-mata suara murni dari rakyat. Banyak hal dan juga kejadian dibalik surat suara itu. Banyak moril, moral, dan materi yang dikorbankan untuk itu.

Bagaimana jadinya kalau pemerintahan di Indonesia ini bersih tanpa adanya koruptor. Sudah barangkali kesejahteraan tidak perlu lagi di cari.

Bagaimana tidak? Uang yang dihasikan dari korupsi yang bernilai miliar dan triliun-triliun itu bisa pergunakan untuk kesejahteraan keluarga miskin, membuka usaha-usaha tani dan nelayan, buruh, dst.

Dan sekarang tindakan korupsi tidak saja dilakukan oleh pihak-pihak dari kepemerintahan. Guru yang tugas dan kewajibanya sebagai pendidik juga sudah terlibat dalam tindakan biadab yang sialan itu.

Lalu siapa lagi yang bisa kita harapkan untuk mendidik generasi-generasi selanjutnya untuk tidak melakukan korupsi? Siapa yang bisa kita harapkan untuk mendidik moral generasi selanjutnya jika yang menddinya saja tidak paham moralitas? Kita hanya butuh peraturan baru yang bisa memberi efek jera supaya korupsi tidak ada lagi di bumi NKRI ini, dengan hukuman mati, potong tangan atau apapun yang bisa betul-betul membuat koruptor berpikir-pikir seribu kali untuk melakukan tindakan sialan itu. Kalau kita mengharapkan orang dalam yang duduk di pemerintahan, yang memiliki wewenang dalam membuat dan mengatur kebijakan, itu tidak mungkin karena lembaga pemerintahan isinya sekarang  hampir dipenuhi oleh mereka-mereka rakus dan haus kekuasaan. Mereka yang rakus dan haus kekuasaan sudah pasti menggunakan 1001 cara untuk mencapai kekuasaan. Padahal ketika kampanye, suaranya begitu lantang menyuarakan bahwa mereka maju karena panggilan nurani untuk meningkatkan kemakmuran rakyat.

Saya pernah melihat secara langsung bagaimana cara mereka melakukan kampanye dimasyarakat, khususnya masyarakat-masyarakat pinggiran dan terpencil.

Saya menceritakan ini karena kesal dengan orang yang dulu datang kampanye di desa saya, dia  mengatakan akan membangun wirausahaan untuk warga kami, setelah dia terpilih hal itu tidak pernah terjadi. Bahkan dia tidak pernah datang mengunjungi kami, walaupun hanya untuk sekedar melihat.

Lihatlah betapa kotornya politik di negeri ini. Belum lagi kalau  kita membicarakan apa yang dia lakukan selain dari pencitraan untuk menarik simpati itu? saya juga melihat langsung bagaimana uang dan kaos disalurkan kepada warga didaerahku waktu itu. Iya, itu jelas sebuah cara yang busuk, menyuap rakyat, menjadikan rakyat sebagai batu pijakan supaya dia bisa sampai keatas. Setelah naik mereka kembali melakukan korupsi untuk mengembalikan modal yang telah mereka buang waktu kampanye. Seperti itu yang saya lihat dari seorang politisi, sudah tidak ada yang benar-benar murni pilihan rakyat, dan menyuarakan suara rakyat. Seperti itulah politisi, yang ada dipikiran mereka adalah bagaimana caranya meraup keuntungan banyak.  Begitupun rakyat, sepertinya hanya bisa pasrah, bingung memilih siapa, sehingga siapa yang paling banyak memberinya uang, itulah yang mereka pilih.

Bagaimana dengan negarawan? Tentu yang ada dipikiran mereka adalah bagaimana generasi kedepanya mengalami perkembangan kearah yang positif. Dan itu selaras dengan yang diinginkan oleh para pendahulu kita.

Sampai hari ini, saya pribadi belum menemukan sang negarawan itu. Bahkan di tingkatan nasional sampai daerah, saya belum temukan.

Hari ini kepala desa saja, sudah mempraktekan hal picik yang merugkan masyarakat itu. Anggaran Desa lebih banyak masuk ke kantong kades dan beberapa bawahanya yang penurut, maka jangan heran akhir-akhir ini kita melihat diberita-berita, bagaimana kepala desa ditangkap karena hal itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun