Mohon tunggu...
MuhHazairin
MuhHazairin Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Financial Planner | Suka cerita tentang film | Suka cerita tentang buku | Penyuka Fotografi | Suka Makan | Apalagi Travelling

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menunggu Skema Pembunuhan Sang Whistle Blower

30 Juni 2011   03:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:03 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_117095" align="alignleft" width="412" caption="sumber gambar : https://mastein.wordpress.com/2011/06/10/whistleblower/"][/caption]

Akhir-akhir ini, sepertinya aib birokrasi negara ini satu persatu mulai dibuka oleh orang-orang yang sebenarnya sangat dekat dengan masalah itu sendiri kemudian membukanya kedepan umum dengan alasan kejujuran yang mungkin sudah sangat langka di negeri ini. Kasus Nazarudin dan Waode Nurhayati adalah contoh yang menjadi pembicaraan karena berhubungan dengan dua simbol negara ini. Nazarudin adalah salah seorang petinggi “Partai Penguasa”  dan Waode Nurhayati adalah salah satu anggota DPR RI.

Kasus ini sangat erat kaitannya dengan apa yang dinamakan Whistle Blower, yang menurut Wilkipedia hal ini diartikan sebagai istilah bagi karyawan, mantan karyawan atau pekerja, anggota dari suatu institusi atau organisasi yang melaporkan suatu tindakan yang dianggap melanggar ketentuan kepada pihak yang berwenang. Secara umum, segala tindakan yang melanggar ketentuan berarti melanggar hukum, aturan dan persyaratan yang menjadi ancaman pihak publik atau kepentingan publik. Termasuk didalamnya korupsi, pelanggaran atas keselamatan kerja, dan masih banyak lagi.

Publik mungkin masih ingat dengan kasus Susno Duadji yang mengungkap adanya mafia kasus dan mafia pajak di tubuh Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang sangat erat hubungannya dengan rekening-rekening gendut yang mengisi saldo para petinggi Polri. Tetapi apa yang terjadi? Susno Duadji justru diskemakan untuk mendapatkan hukuman dari kasus pilkada Jawa Barat. Terlepas dari benar atau tidaknya seorang Susno Duadji juga melakukan hal yang sama, tapi setidaknya hal ini perlu diapresiasi karena berkat hal yang diungkapkannya secara luas, menjadikan mata khalayak umum atau orang-orang awam yang selama ini buta dengan kondisi sebenarnya didalam tubuh lembaga negara menjadi sedikit paham dan mungkin sedikit sadar mengapa negara ini tidak maju-maju.

Kasus Whistle Blower sebenarnya bukan hal baru di dunia ini, walaupun untuk indonesia kita masih perlu untuk mengerutkan kening dengan proses penyelesaiannya, karena sebagian besar mereka yang berbicara malah disudutkan dengan berbagai macam alasan yang walaupun benar tetapi masih sangat rancu. hal berbeda terjadi di negara lain, mungkin pernah mendengar tentang Chintya Cooper, seorang internal audit yang mengungkap kasus Worldcom dielu-elukan sebagai pahlawan. Chintya Cooper telah menjadi agent of change yang sukses.  Keberhasilan Chintya mengantarkannya termasuk salah seorang People of The Year versi Majalah Time. Bersama dengan whistleblower lainnya, Chintya telah menyelamatkan perusahaan dari kemungkinan lebih buruk. Bagaimana dengan Indonesia? Bandingkan dengan kisah tentang seorang auditor BPK bernama Khairiansyah Salman. Khairiansyah merupakan auditor BPK yang mengaudit Komisi Pemilihan Umum (KPU) sehingga akhirnya beberapa anggota KPU dipidana dengan kasus korupsi. Demikian juga beberapa nama lain yang bertindak sebagai whistleblower. Seperti apa nasib mereka sekarang ??

Dalam Teori Michel Foucault dalam bukunya Discipline and Punish: The Birth of the Prison,yang memuat desain Panopticon dimana Desain Panopticon ini menjadi metafora bagi masyarakat “disiplin” modern dan kecenderungannya yang menyebar, untuk mengawasi dan menormalisasi. hal ini yang mungkin tidak pernah tidak terjadi di Indonesia yang berhubungan dengan whistle blower. mengapa demikian ??

Konsep Panopticon sebenarnya erat kaitannya dengan yang disebut oleh Foucault sebagai ”sentimen kemahatahuan yang tidak terlihat”, karena Panopticon adalah perwujudan puncak dari institusi pendisiplinan modern. Panopticon memungkinkan observasi terus-menerus yang dicirikan oleh sebuah “tatapan yang tidak setara” sebuah kemungkinan observasi yang terus-menerus. Mungkin gambaran yang paling penting dari Panopticon adalah bahwa pengaturan itu secara spesifik dirancang sedemikian rupa, sehingga tahanan tidak pernah bisa merasa pasti, apakah ia sedang diawasi atau tidak.

Tatapan yang tidak setara ini menyebabkan internalisasi individualitas pendisiplinan dan kebutuhan tubuh-tubuh yang mudah diatur itu akan adanya teman setahanan Ini berarti seseorang kecil kemungkinan melanggar peraturan atau hukum jika mereka yakin sedang diawasi, bahkan sekalipun mereka sebenarnya sedang tidak diawasi.

Itulah sebenarnya dampak positif yang seharusnya terjadi setelah adanya kasus Nazarudin dan Nurhayati, sesama anggota DPR yang selama ini saling menjaga “rahasia” atau sesama birokrasi Indonesia yang saling mengetahui “Kartu Truf”  saling awas mengawasi sehingga lambat-laun birokrasi akan menjadi semakin bersih karena sesama birokrat saling menjaga diri untuk tidak diketahui rekannya karena adanya ketakutan untuk dilaporkan.

Tapi melihat perkembangan kasus Duo “N’ ini, ada sedikit keyakinan bahwa ini akan semakin memburuk seperti kasus sebelumnya, skema demi skema terlihat untuk mematikan “sang Whistle Blower”, satunya mulai ditinggalkan oleh kawan-kawan partainya, dibuka kasus yang melibatkan istrinya disalah satu departemen di negeri ini, yang satunya lagi diserang dengan pelanggaran kode etik di lembaga tempat dia saat ini bekerja, sebegitu sistematisnya kejahatan di negeri ini, ketika ada penghianatan maka akan dilakukan segala cara untuk melemahkan penghianat itu walaupun dia benar.

Jadi apa yang akan menimpa “Sang Whistle Blower” kita. dibunuh secara halus atau mungkin bisa lebih kasar.  Kita Tunggu saja !!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun