Elit dengan demikian adalah kehendak dan menguntungkan bagi masyarakat, suatu kelompok yang tidak terelakan dan bukan dibentuk oleh sesuatu atau sesiapa.Â
Catatan pentingnya adalah meski elit muncul namun ruh demokrasi  masih menjadi titik tuju dengan mensyaratkan kesamaan kepentingan yang diperjuangkan bersama.
Sayangnya, bahkan dengan bercermin pada Amerika yang menjadi suar demokrasi. Charles Wright Mills menemukan kesimpulan dari penelitiannya. Menurut Mills, keseimbangan power dan kesamaan kepentingan adalah cita-cita imajinatif.Â
Mills menyebut, pada saat elit telah terbentuk maka massa umum dan elit adalah kelas sosial dengan kepentingan berbeda sehingga sangat mungkin muncul konflik kelas diantara keduanya. Mills bahkan menegaskan, kelas elit bukan hanya mendominasi namun cenderung melakukan eksplotasi pada masyarakatnya.
Kita harus jujur  common sense ini pula yang ada dalam diri masyarakat kita pada saat ini. Kecurigaan terhadap kongsi jahat dalam produksi regulasi berbanding lurus dengan penangkapan-penangkapan terduga koruptor dari elit tertentu, pimpinan politik, birokrat dan pengusaha sebagai mitranya.Â
Masyarakat dengan logika sosialnya menangkap gejala matinya demokrasi dengan proses dijelaskan dalam buku "How Democracies Die" (Ziblat & Levitsky, 2008).Â
Gejala-gejala itu ditangkap oleh indra masyarakat sebagai pengetahuan dan kesadaran dari yang dicerna secara historis faktual. Â Masyarakat memahami perjalanan demokrasi berupa common sense yakni suatu keyakinan yang didapat secara induktif berdasarkan pengalaman, tanpa perlu diajarkan, tanpa perlu didikte.Â
Elit memang nyata ada, entah dengan atau tidak sengaja dibentuk. Namun demikian keseimbangan power dalam demokrasi tidakkah pantas diupayakan?
Demokrasi yang Melompat dan Salah Arah
Jika kita melihat indikasi yang sama sedang terjadi pada demokrasi kita, maka kemungkinan besar yang terjadi adalah kita telah mengalami lompatan demokrasi.Â
Situasinya hampir mirip dengan ungkapan satir yang menyebut bahwa budaya kita (khususnya Jawa) telah melompat dari budaya bayang-bayang (wayang) menuju dunia layar kaca, meninggalkan tradisi tulis dan baca yang kini dianggap bertanggungjawab pada ketertinggalan bangsa.