Mohon tunggu...
Mufdil Tuhri
Mufdil Tuhri Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti Independen

Sedang bergelut dengan bacaan tentang Indigenous, Race and Ethnic Studies

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Sebuah Catatan Kritis: Incung untuk Kerinci

7 Agustus 2020   21:53 Diperbarui: 9 Agustus 2020   03:07 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mendukung keberadaan bahasa daerah. (Kompas/Rony Ariyanto Nugroho)

Dalam kasus incung di atas, bagi saya, belajar incung adalah sarana bagi generasi muda untuk memahami tentang pengetahuan masa lampau yang kaya. 

Memahami incung sebagai aksara Kerinci adalah secara sadar memahami bahwa leluhur kita bukanlah orang yang buta huruf, tidak mengenal tulisan, sehingga mereka butuh pendidikan barat yang mengenalkan mereka akan tulisan latin.

Problem mental kolonial ini adalah tersendiri dalam masyarakat saat ini. Hal ini disebabkan oleh masyarakat kita yang telah lama "merasa" pernah dijajah, karena mereka pernah "merdeka". 

Oleh karena itu, untuk menjadi manusia seutuhnya, masyarakat mesti mengikuti pola kemajuan masyarakat barat. Namun, barat memiliki citra buruk pada beberapa dekade belakangan, terutama kesan barat yang dianggap sebagai pembawa nilai-nilai sekuler, tidak berbudaya timur dan sebagainya.

Dalam hal ini, saya bisa memahami bahwa muncul keinginan dari pemerintah yang ingin menggalakkan Islam sebagai identitas utama masyarakat seperti memperkenalkan Bahasa Arab sebagai modal menghadapi tantangan zaman hari ini. 

Saya memahami semangat penguatan identitas yang demikian ini. Hanya saja, saya merasa bahwa rujukan yang diproyeksikan justru tidak begitu mengakar dalam budaya Kerinci. Alih-alih menjadikan masyarakat sadar akan budayanya, mereka akan mendapat tugas baru untuk "menjadi Arab".

Oleh karena itu, saya menawarkan agar masyarakat Kerinci bersikap kritis memahami budayanya. Budaya Incung misalnya, adalah warisan leluhur dahulu. Ini menandakan bahwa leluhur kita sudah memiliki budaya tulis dan aksara sendiri. 

Mereka telah hidup dalam pengetahuan. Maka, jelas keliru narasi kolonial yang mengatakan bahwa leluhur kita adalah buta huruf, maksudnya adalah buta huruf latin yang baru diperkenalkan belakangan. 

Bagi saya, mempelajari Incung sebagai aksara Kerinci bukan untuk membaca kembali mantra-mantra bertulis Incung tapi menguatkan semangat identitas kultural sebagai benteng menghadapi tantangan globalisasi dan kapitalisasi yang mulai menghegemoni hari ini.

Belajar incung berarti juga membuka kembali lembaran tambo Kerinci, membaca riwayat-riwayat lokal dahulu yang memiliki khazanah tentang pengetahuan hidup bermasyarkat.

Pada akhirnya nanti, belajar Incung juga akan mempertemukan kita dengan kekayaan naskah tulisan leluhur dalam Arab Melayu, Arab Jawi dan tentu dalam Bahasa Arab. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun