Anugerah Desa Wisata (ADWI) 2021 telah berakhir, kegiatan ini diikuti oleh 1.831 desa dari seluruh Indonesia. Sembilan Desa di Sumatera Barat termasuk 100 desa yang terpilih dari 800 desa peserta dari seluruh Indonesia di Indonesia. Kesembilan desa itu adalah; Kabupaten Agam, Desa Sungai Batang dan Lawang, Kabupaten Lima Puluh Kota, Desa Saribu Gonjong dan Desa Kapalo Banda Taram, Kota Bukittinggi, Desa Sanjai, Kabupaten Tanah Dasar, Desa Kampung Minang Sumpu dan Silokek Sijunjung, Kabupaten Pariaman, Desa Ampar dan Kota Padang Panjang adalah Desa Kubu Gadang.
Kemudian dari 50 besar desa peserta ADWI ini maka 4 desa berasal dari Provinsi Sumatera Barat, keempat desa itu adalah Desa Saribu Gonjong, Sungat Batang, Kampung Minang Sumpu dan Desa Ampar Pariaman. Desa Ampar dengan pantai yang terpelihara nan indah, track mangrove, konservasi penyu dan uniknya adalah adanya Sekolah Tinggi Ilmu Baruak (STIB). Desa Sungai Batang di pinggiran danau Maninjau sudah populer sejak zaman dulu, dengan keunggulan sejarahnya dan religi, adanya museum Buya Hamka dan pondok Pesantren. Gulai "rinuak" dengan makanan olahan ikan danau Maninjau menjadi daya tarik wisatawan untuk datang.
Sementara Kampuang Nagari Sumpu yang berada di Utara danau Singgkarak terkenal dengan puluhan rumah "gadang" yang terpelihara apik dan dijadikan home-stay. Ke khasan kulinernya menjadi faktor pendukung wisatawan yang datang, seperti rendang sumpu, rebon, singgang dan pangek sumpu.
Nagari Pariyangan yang berjarak hanya 13 km dari kota Batusangkar, tidak perlu berkecl hati. Nagari ini sembilan tahun yang lalu, telah terpilih menjadi salah satu dari lima Desa terindah di Dunia versi majalah Travel Budget, sebuah majalah parawisata International dari New York Amerika Serikat, (23 Februari Tahun 2012), Untuk kategori World's 16 Most Pictureque Village. Empat desa lainnya adalah desa Wengen di Swiss, desa Eze di Perancis, Desa Niagara on The Lake di danau Ontario Kanada dan desa Cesky Krumlov di Ceko.
Keberhasilan Nagari Pariyangan yang viral di berbagai medsos, media cetak dan media elektronik, Sejak tahun 2012 itu, mendorong saya bersama teman Yulianto Sahyu, seorang pengacara dan dosen di Jakarta dan Bapak Marthias Pensiunan Diknas Kabupaten Pesisir Selatan, untuk mengunjungi Desa Pariangan, di Tanah Datar (Juli 2017) . Kami mampir shalat di Mesjid Islah yang termasuk masjid tertua di Sumatera Barat, sebelum nya minum kopi kawa di persawahan sekitar Mesjid ini. Desa ini berada di lereng gunung Merapi, sebuah tempat yang sulit dilupakan, saat menum kopi kawa disana. 'Kopi Kawa' yang khas, minum dengan cawan (gelas) tempurung (Batok kelapa) dengan gula batu nya. Berada di ketinggian 500 sd 700 m diatas permukaan laut, semilir angin yang sejuk dan sehat. Kondisi iklim tidaklah sedingin Puncak Lawang. Puncak Lawang.
Dengan keunggulan keempat desa yang berhasil meraih ADWI dari Propinsi Sumatera Barat, Nagari Pariyangan tidak lah ketinggalan. Nagari dengan lingkungan alam yang asri dan indah di lereng gunung Merapi, mempunyai masjid Tua yang terpelihara dan berfungsi. Arsitektur asli dengan atap tiga tingkat, menambah nilai historisnya. Model arsitektur masjid Islah ini mirip dengan Mesjid Nurul Hikmah, yang berada Jorong Sipisang di Nagari Nan Tujuah, Kecamatan Palupuah (42 km dari Bukittinggi di jalan lintas Sumatera, sebelum Bonjol). Usia masjid Nurul Hikmah ini hampir dua abad.
Masyarakat yang santun dan ramah memerlihara adat Minang secara konsiten. Mendatangi Nagari Parahiyangan, dalam perjalanan dapat menyempurnakan kunjungan wisata di sejumlah lokasi wisata di Kabupaten Tanah Datar, seperti Istana Pagaruyung, cagar budaya Batu Batikam, Bukit Aue Sarumpun, Tabek Patah, prasasti Adityawarman, Batu Basurek dan banyak lagi yang lain. Menikmati Pangek Simawang, Sate Didong, Pangek Ikan Sasau dan berbagai kuliner ikan danau Singkarak, menyempurnakan wisata ke Nagari Parahiyangan.
Sebuah buku dengan judul "Adat Alam Minnangkabau, Baradaik ke Pariangan, Barajo ka Pagaruyuang", yang ditulis oleh Muhammad Jamil, Labai Sampono sedang dalam prozses produksi di percetakan. Buku ini menguraikan tentang sejarah Adat Minangkabau sebelum "Soempah Satie Marapalam" dan sesudahnya. Terbitnya buku ini akan semakin menambah informasi tentang Nagari Parahiyangan ini. Pada giliran berikutnya tentu saja para wisatawan akan berduyun duyun mendatangi Nagari Pariyangan ini. Insyaa Allah.