Mohon tunggu...
Muchson Thohier
Muchson Thohier Mohon Tunggu... Lainnya - Orang biasa

Rindu Harmoni

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Berani Menikah, Berani Bekerja!

4 Maret 2014   19:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:15 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu penopang kokohnya keluarga adalah kematangan finansial. Dengan kondisi  finansial yang memadai sebuah keluarga lebih mudah membiayai berbagai keperluan dan kebutuhan. Pastilah sebuah keluarga butuh pengeluaran-pengeluaran. Mulai dari urusan yang bersifat primer seperti pemenuhan konsumsi, urusan sandang, papan maupun yang sekunder bahkan tertier. Bila tak memiliki sumber pemasukan yang jelas, bisa dibayangkan betapa repotnya.

Itu kenapa saat seseorang memutuskan untuk menikah salah satu yang harus dipikirkan adalah bagaimana menyiapkan urusan-urusan finansial ini. Tak mungkin sebuah keluarga mengandalkan sepenuhnya dari uluran dan belas kasih pihak lain. Sekalipun itu dari orang tua sendiri, mertua, saudara, apalagi tetangga. Bantuan pihak lain tentu bersifat sementara. Sebuah keluarga yang hanya mengandalkan bantuan finansial dari pihak lain, hanya membuat keluarga kehilangan kemandirian. Dalam batas-batas tertentu pihak lain akan mudah menyetir, mengintervensi dan bahkan “menjajah” teritorial kewenangan keluarga tersebut.

Ada kisah menarik tentang masalah pekerjaan ini. Dari seorang khalifah yang bernama  Umar bin Khattab. Beliau sangat menghargai seseorang yang bekerja. Bekerja atau nganggur-nya seseorang mempengaruhi penilaian beliau atas orang tersebut. Dari Muhammad bin Ashim, dia berkata, “Telah sampai berita padaku bahwa Umar bin Khatab RA Jika melihat pemuda yang membuatnya kagum, maka ia akan menanyakan perihal anak itu, ‘apakah anak itu memiliki pekerjaan?’ jika dikatakan, ‘Tidak’, maka ia akan berkata, ‘Telah jatuh satu derajat anak muda itu di mataku’.”

Bekerja tidak hanya sekedar menjadi ma’isyah (sumber penghidupan) sebuah keluarga, namun juga berkait dengan kemulian dan kehormatan. Di sebagian besar masyarakat kita seorang pengangguran dinilai rendah dan minor. Bahkan tak sedikit suami yang mesti pasrah digugat cerai istri karena statusnya sebagai pengangguran. Apalagi bila nganggur-nya lebih karena sifat malas. Tentu jauh lebih berharga seorang tukang becak, kuli bangunan, atau pelaku profesi yang dinilai “kasar” oleh masyarakat, yang rela peras keringat banting tulang demi menafkahi keluarga, dibanding seorang terpelajar namun tidak bergairah bekerja atau jobless karena terlalu pilih-pilih pekerjaan.

Karenanya bagi calon-calon pengantin khususnya dan umumnya para pelaku rumah tangga harus ditumbuhkan sebuah tekad: berani menikah, berani bekerja. Orang Jawa bilang: wani rabi, wani makaryo. Saat seseorang memilih jalan pernikahan, dia harus siap bekerja. Bila tidak siap bekerja, tunda saja pernikahan. Memang tidak harus menunggu kaya untuk menikah. Karena tidak semua orang dikarunia “keberuntungan” dalam hal materi ini Namun menikah tanpa memiliki pekerjaan atau nir penghasilan, bisa diibaratkan kapal berlayar di tengah samudera tanpa bahan bakar yang memadai. Tentu tak mudah, bahkan teramat sulit bagi kapal tersebut melangsungkan perjalanan menuju pulau atau dermaga impian.

Bahwa cinta penting dalam sebuah pernikahan, itu pasti. Namun modal cinta saja tidak cukup. Menikah hanya bermodal cinta hanya indah dalam tataran retorika dan pada saatnya untuk bisa merawat cinta butuh hal-hal yang berkait dengan kemampuan finansial. Maka bekerjalah, apapun pekerjaan itu. Tuhan Maha Kaya. Telah disediakan dalam hamparan semesta ini bongkahan-bongkahan rizki yang bisa ditangguk dan dikais. Dan yang pasti berusaha dan bekerjalah secara halal. Bukan suatu hal klise bila dikatakan bahwa rizki yang tak halal sama sekali tak ada berkahnya. Karena senyatanya begitulah yang terjadi.

Bekerja Laksana Jihad

Saat seseorang demi ambisi menumpuk harta dan membeli kemewahan, rela dan tega merebut rizki dengan cara yang haram, melanggar aturan dan norma, sikut kanan kiri, injak sana sini, korup ini itu, percayalah harta yang melimpah itu tak akan pernah bisa membeli kebahagiaan. Kalaupun tampak bahagia, pasti sementara saja. Di balik rumah yang megah dan mewah, mobil yang berderet, deposito yang melimpah itu boleh jadi hanya ada sedikit tawa dan keriangan. Boleh jadi derai airmata, rasa hampa dan jauh dari ketenteraman yang dirasakan.

Harta yang diperoleh dengan cara haram tak ubahnya bara api. Panas, membakar dan sama sekali jauh dari rasa menenteramkan. Ungkapan ini mudah dicarikan bukti saat kita melongok berbagai kisah dan kasus para koruptor. Kurang apa mereka itu: harta berlimpah, kedudukan terhormat, istri cantik nan molek, atau bila belum molek bisa  mencari istri baru yang molek. Namun bahagiakah hidup mereka? Menilik dari cara mereka berperilaku, cara menyimpan hasil korupsi yang “aneh-aneh”, cara  “mendermakan” hasil korupsi yang juga sering aneh,  mengisyaratkan bahwa mereka tak merasa aman dan dibayangi rasa cemas, takut dan khawatir. Kondisi psikologis demikian amat masuk akal, bagaimana mungkin orang yang tak jujur bisa tenteram dan tenang hatinya?

Maka bekerjalah yang jujur, kaislah rizki secara halal. Jaringlah rizki dari Tuhan itu dengan cara-cara yang diajarkan Tuhan. Dalam sebuah hadits disebut seorang yang bekerja demi keluarga dengan cara yang benar disetarakan dengan seorang mujahid, orang yang berjihad. Lebih jelas sada nabi tersebut adalah sebagai berikut:

“Barang siapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah ‘azza wa jalla” (HR Ahmad)

Dalam hadits yang lain Rasulullah menyepadankan seorang pedagang dengan seorang syuhada. Sebuah peghargaan atas kerja atau amal seseorang yang begitu luar biasa. Seorang syuhada adalah posisi yang amat mulia di hadapan Allah. Dengan begitu seorang yang bekerja juga mulia di hadapan Allah.  “Pedagang yang amanah dan benar akan bersama dengan para syuhada di hari Kiamat nanti.” (HR Ibnu Majah dan Al Hakim)

Melihat begitu berharganya kedudukan kerja dalam agama kita, bahkan seseorang pun hanya mempertanggung-jawabkan amalnya masing-masing kelak saat menghadap Tuhan, seharusnya memotivasi kita untuk bekerja, beramal dengan kemampuan terbaik. Kerja juga menjadi penanda eksistensi seseorang. Bila Rene Descartes mengatakan “aku berpikir, maka aku ada (cogito ergo sum), maka bagi seorang muslim adagiumnya bisa diganti menjadi “aku bekerja, maka aku ada”.

Suami Wajib, Istri Boleh

Dalam rumah tangga yang punya kewajiban bekerja adalah suami. Seorang suami berkewajiban memberi nafkah keluarga, baik lahir maupun batin. Kewajiban ini beriring dengan hak suami memperoleh ketaatan seorang istri. Suami wajib memberi nafkah dan dia  diberi hak menjadi imam, pemimpin rumah tangga.

Bagaimana bila istri ingin bekerja? Bila istri, karena alasan-alasan tertentu: membantu keuangan keluarga, aktualisasi diri dan semacamnya, ingin bekerja, selayaknya suami bersikap bijak. Adakalanya karena merasa sebagai penanggung jawab nafkah keluarga, seorang suami melarang istrinya bekerja dengan membabi buta. Padahal kondisi yang senyatanya masih butuh bantuan pihak lain. Adapula karena terdorong keinginan memperoleh hasil yang cepat, seorang suami mempekerjakan istri juga secara membabi buta, termasuk untuk jenis pekerjaan yang “bermasalah”.

Berkait dengan urusan kesempatan bekerja ini, ada baiknya suami mempertimbangkan beberapa hal sebelum memberi izin meluluskan permintaan istri. Hal-hal prinsip yang harus dipertimbangkan berkait dengan keamanan istri khususnya aman kehormatannya, aman aqidahnya dan aman fisik-jasmaninya. Bila tiga hal tersebut bisa dipastikan keamananya, menurut saya, tak ada salahnya memberi izin bekerja kepada istri. Seorang istri yang “berdaya” secara finansial, sepanjang didasari penghayatan agama yang baik, akan sangat membantu sebuah keluarga menjalani rumah tangga. Apalagi bila terjadi kondisi-kondisi tertentu, entah karena sakit, PHK, meninggal atau sebab lain, seorang suami tak bisa menunaikan kewajiban sebagai pemberi nafkah keluarga secara memadai, atau bahkan berhenti memberi nafkah sama sekali.

Akan lebih baik bila urusan siapa yang bekerja dibicarakan secara internal dalam keluarga. Agar imbas-imbas negatif yang muncul bisa diantisipasi semenjak dini. Dan yang tak kalah penting antara suami istri termasuk anggota keluarga yang lain memiliki semangat yang sama menjaring rizki Tuhan secara halal. Alangkah indahnya saat seorang istri menerima nafkah dari suami selalu tak lupa bertanya: “maaf mas, ini rizki yang halal bukan? Mohon jangan kau nafkahi kami dari rizki yang tak jelas halal haramnya.”

Seseorang, siapa pun itu, ada saaatnya alpa. Maka menjadi tugas anggota keluarga untuk mengingatkan dan mengawalnya. Jangan malah sebaliknya, segenap anggota keluarga bersekutu, bekerja sama, bersepakat menggaruk rizki dengan jalan apa saja, tak peduli halal haram, yang penting banyak dan segera.

Bila seorang suami demi menyenangkan istri dan keluarga rela meminggirkan hukum agama dan norma-norma yang ada, sebenarnya dia tak mencintai dan menyayangi mereka dengan semestinya. Begitupun bila seorang istri yang mempengaruhi dan mendorong suami untuk menjadi orang yang melanggar hukum, norma, menjadi koruptor atau semacamnya, jelas dia telah menyiapkan “gantungan” untuk penderitaan suami dan keluarga. Tidak hanya penderitaan di dunia ini, namun juga di kehidupan abadi setelah mereka mati.

Sekali lagi, berani menikah, harus berani bekerja. Dengan cara halal tentunya!

Wallahu a’lam bi al shawab

REMBANG, 04 MARET 2014

Artikel-artikel lain:

Berani Menikah, Berani dewasa!

Berani Menikah, Berani Setia!

Sejatinya Pernikahan sebuah Akad yang Agung

Pembekalan Pranikah: Siapa Peduli?

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun