Terlalu sering hidup ini memberikan pelajaran dengan cara yang keras. Seperti halnya Joni, pria berusia 27 tahun yang baru saja memasuki dunia kantoran dengan optimisme penuh. Namun di balik senyumnya yang lebar seusai menerima amplop gaji pertama, ada beban yang tersembunyi---sebuah cerita yang mungkin akan terasa familiar bagi banyak dari kita.
 Amplop Pertama, Tanggung Jawab Berlipat
Joni membuka amplop gajinya dengan jantung berdegup kencang. Rp 7.500.000 --- jumlah yang menurutnya cukup besar untuk ukuran fresh graduate seperti dirinya. Jauh di dalam hati, ia sudah memiliki rencana untuk uang tersebut: membelikan ibu sebuah kulkas baru, membantu biaya sekolah adik, dan mungkin menyisihkan sedikit untuk dirinya sendiri.
"Akhirnya," bisiknya pelan, "Aku bisa membantu keluarga."
Joni adalah definisi nyata dari sandwich generation. Di usia mudanya, ia harus menopang kehidupan orang tuanya yang sudah memasuki masa pensiun, sementara juga membantu adiknya yang masih kuliah. Bahkan sebelum amplop itu dibuka, sebagian besar uangnya sudah teralokasikan untuk kebutuhan keluarga.
 Bisikan Investasi dan Jeratan FOMO
Saat makan siang di kantor, Joni sering mendengar rekan-rekannya berbicara tentang investasi saham, kripto, dan berbagai instrumen keuangan yang asing di telinganya.
"Eh, kamu belum investasi? Sekarang lagi booming lho! Teman aku dapat 20% dalam sebulan," cerita Dani, rekan kerjanya, sambil menunjukkan portofolio investasinya yang hijau.
Bisikan-bisikan ini terus menggelitik pikiran Joni. Takut ketinggalan, fear of missing out atau FOMO menguasainya. Dengan sisa uang yang dimiliki, sekitar Rp 1.200.000, Joni memutuskan untuk terjun ke dunia investasi kripto yang sedang hype saat itu.
"Tinggal beli aja, tunggu naik, terus jual! Gampang kan?" begitu yang Joni pahami dari percakapan teman-temannya.