Pertanian yang Masih Dipandang Sebelah Mata
Sebagai seseorang yang lama mengamati perkembangan dunia pertanian di Indonesia, saya sering dibuat resah oleh kenyataan bahwa bidang ini masih dianggap sebelah mata. Jurusan pertanian di kampus-kampus sering kali tidak menjadi pilihan utama, melainkan hanya alternatif bagi mereka yang tidak lolos di jurusan lain. Padahal, sektor pertanian merupakan tulang punggung kehidupan manusia. Kita makan setiap hari, dan makanan itu lahir dari proses panjang pertanian.
Ironisnya, dunia pertanian kerap dicitrakan sebagai pekerjaan kuno, melelahkan, dan tidak menjanjikan. Anak muda lebih tertarik bekerja di sektor industri, teknologi, atau jasa yang dianggap lebih modern dan prestisius. Padahal, jika mau melihat lebih dalam, peluang di bidang pertanian sama sekali tidak kalah, bahkan justru menjadi kunci masa depan bangsa.
Asal Mula Stigma dan Akar Masalah
Mengapa dunia pertanian kerap dipandang sebagai sektor yang kurang bergengsi? Pertanyaan ini terus terngiang dalam pikiran saya. Ternyata jawabannya terletak pada warisan budaya, narasi sosial, hingga kelemahan dalam promosi pendidikan pertanian itu sendiri.
a. Persepsi Tradisional yang Masih Mengakar
- Pertanian sering dipersepsikan sebagai pekerjaan yang hanya menggunakan tenaga fisik. Orang membayangkan petani dengan cangkul, lumpur, dan keringat, bukan dengan laptop, drone, atau sensor tanah modern.
- Kemajuan teknologi pertanian jarang ditampilkan secara luas di media arus utama. Padahal, hari ini ada petani yang mengatur irigasi dengan smartphone atau memantau kesehatan tanaman dengan satelit.
- Karena kurangnya informasi, banyak orang mengira penghasilan dari pertanian tidak bisa menjanjikan. Padahal, jika dikelola dengan benar, hasilnya bisa lebih besar daripada pekerjaan kantoran biasa.
b. Kelemahan Sistem Promosi Pendidikan
- Program studi pertanian di perguruan tinggi jarang diperkenalkan atau diposisikan sebagai pilihan utama. Banyak sekolah menengah bahkan tidak mengenalkan prospek menarik di bidang ini.
- Mahasiswa yang akhirnya masuk ke jurusan pertanian sering kali bukan karena minat, melainkan karena keterpaksaan. Dampaknya, mereka tidak menggali potensi penuh dari ilmunya.
- Diskursus tentang pertanian hanya muncul di tengah krisis pangan. Begitu krisis selesai, pembicaraan tentang pentingnya pertanian kembali redup.
Pertanian Adalah Pilar Masa Depan
Bila kita menengok kondisi global, jelas terlihat bahwa pertanian akan menjadi sektor strategis dalam beberapa dekade mendatang. Jumlah penduduk di dunia terus mengalami peningkatan, sedangkan ketersediaan lahan subur untuk bercocok tanam semakin menyempit. Perubahan iklim menambah tantangan dengan cuaca ekstrem dan musim yang tak menentu. Dalam situasi seperti ini, pertanian modern adalah penentu apakah umat manusia bisa bertahan atau tidak.
Indonesia sebenarnya memiliki potensi luar biasa. Iklim tropis memungkinkan kita menanam sepanjang tahun, sesuatu yang tidak dimiliki negara empat musim. Keanekaragaman hayati kita juga menjadi modal besar untuk riset dan pengembangan varietas unggul. Sayangnya, semua ini sering belum dimanfaatkan dengan maksimal karena keterbatasan kebijakan dan pandangan sempit terhadap pertanian itu sendiri.
Realitas di Dunia Kerja Pertanian
Banyak orang mengira lulusan pertanian hanya bisa menjadi petani atau penyuluh. Pandangan ini jelas salah besar. Dunia kerja pertanian sangat luas dan penuh dengan ragam peluang yang sering tidak diperhatikan publik.
a. Ragam Peluang yang Sering Terabaikan
- Perusahaan perkebunan besar selalu membutuhkan tenaga ahli di bidang agronomi, manajemen kebun, dan riset produksi.
- Lembaga penelitian membuka pintu bagi lulusan pertanian untuk mengembangkan inovasi pangan, bioenergi, hingga teknologi ramah lingkungan.
- Perusahaan multinasional di bidang agroteknologi selalu mencari pakar pertanian yang mampu menjembatani riset dan praktik di lapangan.
b. Skill Khusus Lulusan Pertanian
- Analisis lapangan: mulai dari memahami kondisi tanah, pola iklim, hingga dinamika ekosistem.
- Ketahanan mental: terbiasa bekerja dalam situasi yang tidak pasti membuat lulusan pertanian lebih tangguh menghadapi tekanan.
- Adaptasi teknologi: sarjana pertanian diharapkan bisa memadukan ilmu pengetahuan dengan teknologi modern, mulai dari penggunaan drone, sensor kelembapan, hingga pemanfaatan kecerdasan buatan.
Paradoks Pertanian di Mata Publik
Fenomena yang saya lihat selama ini bisa disebut paradoks pangan. Saat krisis datang---entah itu krisis ekonomi, pandemi, atau ancaman perang---pertanian selalu menjadi penyelamat. Namun begitu keadaan kembali stabil, sorotan terhadap pertanian memudar.
Contohnya jelas saat pandemi COVID-19. Ketika banyak sektor lain mengalami keterhentian, pertanian tetap menjadi tulang punggung yang menjaga ketersediaan pasokan pangan bagi masyarakat. Tetapi setelah situasi kembali normal, perhatian publik kembali beralih ke sektor lain. Pola seperti ini tidak boleh dibiarkan, sebab ancaman perubahan iklim dan krisis pangan global tidak akan berhenti hanya karena keadaan sesaat membaik.
Mengubah Narasi: Apa yang Bisa Dilakukan?
Jika ingin mengangkat derajat ilmu pertanian, tidak cukup hanya menunggu perubahan datang dari dalam kampus. Harus ada gerakan besar yang melibatkan berbagai pihak.
a. Revitalisasi Pendidikan Pertanian
- Perguruan tinggi harus memperlakukan jurusan pertanian sebagai pusat riset dan inovasi, bukan sekadar fakultas pelengkap.
- Kurikulum perlu diperbarui agar sesuai dengan tuntutan industri, seperti agritech, keberlanjutan, dan ekonomi hijau.
- Sinergi antara perguruan tinggi, dunia usaha, dan pemerintah perlu ditingkatkan melalui kegiatan magang, penelitian terapan, serta pengembangan inkubasi wirausaha agribisnis.
b. Peran Pemerintah dan Media
- Pemerintah perlu memberikan insentif nyata bagi lulusan pertanian, misalnya akses modal, pelatihan kewirausahaan, atau subsidi inovasi.
- Media massa sebaiknya lebih sering menampilkan wajah modern pertanian, termasuk profil anak muda yang sukses mengembangkan usaha di bidang ini.
- Kampanye nasional tentang pentingnya pertanian harus dijalankan secara konsisten, bukan hanya ketika krisis melanda.
c. Kontribusi Mahasiswa dan Alumni
- Mahasiswa pertanian harus percaya diri menunjukkan bahwa ilmu mereka relevan dan strategis.
- Alumni wajib menjadi teladan, baik dengan berkarier di industri maupun membangun usaha sendiri.
- Narasi positif tentang pertanian harus terus disuarakan melalui tulisan, seminar, dan media sosial.
Tantangan dan Harapan di Masa Depan
Sektor pertanian akan selalu berhadapan dengan tantangan. Mulai dari keterbatasan lahan, perubahan iklim, hingga rendahnya minat generasi muda. Namun, justru dari tantangan itu lahir peluang besar.
Ketika lahan semakin sempit, maka teknologi intensifikasi akan menjadi solusi. Ketika iklim semakin ekstrem, varietas unggul yang tahan cuaca harus dikembangkan. Jika generasi muda merasa kurang tertarik bekerja langsung di sawah, maka sektor wirausaha agritech dapat menjadi alternatif yang mampu menarik perhatian mereka.
Penutup: Mengubah Cara Pandang, Menata Ulang Masa Depan
Bila ada yang bertanya mengapa jurusan pertanian masih diremehkan, jawaban saya sederhana: bukan karena ilmunya tidak penting, melainkan karena cara pandang kita yang keliru. Pertanian selama ini hanya dilihat dari sisi tradisional, bukan dari kacamata modern yang penuh potensi.
Namun, keadaan ini bisa berubah. Pertanian harus kita narasikan ulang sebagai bidang strategis, penuh inovasi, dan menyimpan peluang ekonomi yang luar biasa. Melalui perubahan pola pikir, dukungan yang konkret, serta penanaman rasa bangga di kalangan generasi muda, sektor pertanian berpotensi kembali berdiri kokoh sebagai fondasi utama keberlanjutan bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI