Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Sebuah Makan Siang di Pecinan Semarang

19 Juni 2023   07:43 Diperbarui: 20 Juni 2023   06:30 4742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kedai bakmi Hap Kie di Pecinan Semarang (Foto: cheesecupcakeblog.wordpress.com)

Sudah tiga puluh tahun lebih berlalu. Baru sekarang aku bisa berkunjung lagi ke Semarang. Berkunjung dalam arti sebenarnya. Bukan sekadar lewat lalu mampir sebentar makan siang.

Bukan, bukan begitu. Tapi berkunjung dalam arti memang tinggal di situ untuk beberapa hari.

Terakhir aku berkunjung agak lama ke Semarang pada akhir 1980-an.  Aku dan tim melakukan riset perkampungan kumuh di sekitar Banjir Kanal Timur. Kami menginap di Asrama Haji Semarang. Tiap malam makan burung dara goreng di warung tenda depan asrama.

Patokan kami di kota Semarang waktu itu Lapangan Pancasila Simpang Lima. Kalau kami nyasar, selalu naik angkot ke Simpang Lima untuk reorientasi. Perasaan waktu itu semua angkot lewat situ. 

Hal menarik soal angkot itu, supirnya selalu ngomel kalau angkot penuh tapi semua penumpang  "jarak jauh". Itu artinya pendapatan terbatas. Para supir lebih suka angkot dipenuhi penumpang "jarak dekat" yang silih berganti. Itu artinya pendapatan lebih banyak. Sebab tarif angkot jauh-dekat sama saja.

Itu mirip kelakar pahit supir angkot Yogya pada tahun yang sama. Kalau penumpang sedikit,  bus bergerak lambat karena terasa "berat" (hati supir). Sebaliknya kalau penumpang penuh, bus bergerak cepat karena terasa "ringan" (hati supir).

Tapi itu cerita masa lalu. Sekarang angkutan kota Semarang sudah berubah. Ada bus Trans-Semarang dan ada bus pengumpan di pinggiran kota. Lalu ada jasa motor dan mobil ojol.   Angkot-angkot kecil sudah jarang terlihat siliweran.

Begitulah, sebubar ibadah di Gereja Katolik Maria Fatima di perbukitan Banyumanik kemarin, kami sekeluarga menumpang mobil ojol turun ke kota Semarang. Tujuannya makan siang. Itu kebiasaan kami, nyaris menjadi ritus keluarga.

Selepas menikmati santapan rohani di gereja, lalu menikmati santapan jasmani di rumah makan. Sempurna. Sebab manusia tak hanya hidup dari roti, tapi juga dari sabda. Setidaknya kami percaya begitu.

"Kita makan di rumah makan Kelengan Sate Babi saja," usul anak kami -- istriku dan aku. Dan usul itu jadi masalah. Istriku tidak suka makan daging babi. Aku juga tak terlalu suka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun