Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Covid-19 Kini Tinggal Selangkah dari Dirimu

10 Juli 2021   14:55 Diperbarui: 10 Juli 2021   19:34 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi varian virus corona (Foto: SHUTTERSTOCK/Lightspring via kompas.com)

Jika Covid-19 bisa memangkas jarak sosial dari "enam jenjang" menjadi "satu jenjang" maka, agar terhindar dari paparan Covid-19, kita harus mengembalikan jarak itu ke rentang asalinya, dari satu menjadi rata-rata enam.

Mungkinkah? Sangat mungkin, mengingat manusia dikarunia Tuhan akal-budi untuk menguasai alam dan segala mahluk.  Covid-19 dengan segala variannya menyebar, atau memperpendek jenjang sosial antarindividu manusia, dengan mekanisme penularan antar orang-orang yang berdekatan via droplet dan udara bermuatan Covid-19.  

Algoritmanya mengikuti prinsip deret ukur kelipatan 4-5 atau 7-8, tergantung varian virusnya. Artinya, seorang penderita Covid-19 bisa menulari 4-8 orang lainnya. Jika proses tular-menular itu terjadi dalam 30 hari saja tanpa kendali ketat, maka grafik pandemi langsung melejit seperti sekarang. 

Logika pengendaliannya, jika ingin mengembalikan jarak sosial "satu orang" ke "enam orang", maka kita harus memperlebar jarak sosial dan jarak fisik antar sesama selama pandemi Covid-19. Penyempitan atau pemangkasan jarak oleh Covid-19 kita netralisir dengan pelebatan jarak sosial dan fisik.

Jarak sosial dulu diperlebar, dengan begitu jarak fisik akan mengikut. Jika kita menghindari kerumunan, membatasi pertemuan-pertemuan sosial, budaya, ekonomi dan politik, dengan sendirinya jarak fisik akan tereduksi. 

Logikanya, seseorang tidak akan merapatkan jarak fisik tanpa suatu motif sosial tertentu. Bahkan jika Anda sengaja memepet seseorang asing yang menarik hati, sekurangnya ada motif keganjenan, bukan?

Jika jarak sosial dan, karena itu, jarak fisik juga melebar, maka peluang penularan Covid-19 juga akan mengecil. Sehingga,  setelah jangka waktu tertentu, penambahan kasus baru Covid-19 bisa diperhitungkan sebagai (bilangan) nol. 

Pada titik kondisi semacam itu, berarti jarak sosial telah kembali ke "enam jenjang". Artinya, jarak Covid-19 sudah menjauh dari diri kita, sehingga peluang tertular mendekati angka nol juga.

Begitulah logika sosial yang mendasari kebijakan jaga jarak sosial dan fisik dalam protokol Covid-19. Kebijakan tinggal di rumah, kerja dari rumah, ibadah di rumah, belanja dari rumah, dan silaturahmi dari rumah secara daring dimaksudkan untuk melebarkan jarak sosial dan fisik itu.

Penutupan sementara restoran, pertokoan, rumah ibadah, dan lain-lain adalah konsekuensi dari upaya pelebaran jarak tersebut. Untuk menghindari terjadinya "efek kupu-kupu" Edward Norton Lorenz (1963) dalam pola revolusioner, dari satu kesalahan kecil menjadi ledakan pandemi dalam tempo singkat. [3]

Ambil contoh resistensi terhadap penutupan tempat ibadah selama PPKM Darurat Jawa-Bali.  Misalkan ada satu rumah ibadah yang menolak tutup.  Lalu hadir seorang OTG Covid-19 yang abai di dalamnya.  Bisa dipastikan dalam beberapa minggu kemudian ledakan penderita Covid-19 sudah terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun