"Beri kami kritik pedas." -Presiden Jokowi
Kritik, bukan kripik. Sebab kalau kripik, presiden gak usah minta. Tinggal beli di warung sebelah.
"Habis kritik terbitlah sprindik." Â -Bokkor Bossor
Sprindik, surat perintah penyidikan. Bukan brintik, rambut mendadak keriting gegara terpapar kritik.
Dua ujaran itu hari-hari ini memenuhi ruang adubacot di Gang Sapi. Setiap bacoter lihai mengutip kata dan kalimat dari artikel-artikel dan cuitan-cuitan di media daring. Adubacot berlangsung seru, nikmat, tanpa solusi.
Ulara dan Ulari, dua ekor ular sohor semedsos, nguping dari kos gelapnya di kandang sapi. Terheran-heran, betapa para manusia bacoter itu miskin ide, defisit solusi.
Ulara (Ra): "Aneh manusia Indonesia itu. Takut ngritik pedas penguasa. Â Gegara takut dapet sprindik dari pulisi. Padahal presiden sudah minta kritik pedas."
Ulari (Ri): "Ya, iyalah, Ra. Siapa sih yang gak begidik dapet sprindik? Â Loe aja kale yang gak begidik. Loe gak punya bulukuduk, sih."
Ra: "Bukan gitu, Ri. Manusia Indonesia itu perlu mengukur diri. Makanya tukang kripik  bikin level kepedasan. Level satu sampe dua, aman. Tiga sampe empat, mules. Lima sampe enam, mencret jijay lebay. Tujuh sampe lapan, tahanan puskesmas. Sembilan sampe sepuluh, tahanan rumkit, dengan risiko tahanan taman pemakaman, kalo ade komplikasi."
Ri: "Lha, apa hubungan kripik pedas dengan kritik pedas, Ra. Ngarang, loe."
Ra: "Ini ngilmiah, Ri. Bukan ngelmu. Begini. Kritik itu seperti kripik.  Enak dan perlu.  Tapi  kalo kripik kelewat pedes, kan bisa ngirim pelahap ke liang kubur. Kritik juga gitu. Kalo kelewat pedes, bisa bikin merah kuping dan hati penguasa. Karena kritik pedes bisa membunuh legitimasinya. Bahaya untuk kariernya, kan?"