Takjub aku, terkadang, ah, tidak, tapi kerap. Takjub menemukan begitu banyak artikel hebat di K(ompasiana). Â Ya, hebat. Dalam arti, mengangkat isu besar, makro, di luar pengalaman keseharian. Semisal isu sosial, politik, ekonomi, dan bisnis nasional dan global.Â
Pantas saja, pikirku, banyak rekan Kompasianer pemula merasa minder. Baca judul-judul artikel yang wah di barisan AU dan Terpopuler bikin mereka keder. Semangat menulis langsung luntur. Jemari langsung layu, tak kuasa memencet papankunci gajet. Â
Manusiawi, bisalah dimaklumi. Lagi pula Admin K agaknya sangat demen pada artikel model wah begituan. Â Rekan-rekan yang suka memikirkan isu-isu mikro, remeh-temeh, mungkin lalu berpikir, "Tidak ada tempat untuk penulis recehan di Kompasiana." Jadilah mereka "balon kempes."
Empati, itu yang ingin kubagikan pada teman-teman Kompasianer pemula. Maksudku, penulis pemula yang menjadi Kompasianer pemula juga. Bukan penulis hebat yang baru tampil di K, lalu mengaku pemula. Â
Begini, Rekan-Rekan Pemula. Â Menulis itu tidak harus tentang hal-hal besar. Â Seperti yang kebanyakan tayang di kolom AU dan Terpopuler itu.Â
Tidak, menulis itu juga tentang soal-soal kecil. Â Soal keseharian dan soal lingkungan rumahan yang sangat mikro. Â Memang tidak wah, tetapi bisa juga menjadi wow. Â Asalkan dianggit dengan cara menarik, dengan sudut pandang khas, untuk tidak mengatakan kenthir.Â
Mulailah dengan mengambil pekarangan rumah sebagai lahan ide. Dengan sedikit berpikir kreatif, kalau bukan kenthir, akan segera tampak benih-benih ide berkecambah di sana. Â Â
Nah, tinggal mengambil satu benih ide itu lalu menumbuhkannya menjadi sebuah teks tulisan. Dengan begitu, jadilah sebuah tulisan mikro yang unik. Soal manfaatnya, kata Daeng Khrisna, gak usah dipikir, serahkan saja pada pembaca.
Aku beri contoh, ya. Â Aku kerap berkeliaran di pekarangan rumah Poltak, saudara kembarku. Nah, di sana aku menemukan banyak ide. Â Seakan pekarangan Poltak itu lahan pesemaian gagasan. Luar biasa. Â Itu semua ide yang siap dibangun menjadi teks.
Begitulah. Â Aku melihat serumpun pohon pisang di pekarangan Poltak. Â Setelah menelisik asal-usul dan pemanfaatan pisang itu, maka lahirlah tiga tulisanku tentang mukjizat serumpun pisang. Â Tiga tulisan, Teman-Teman. Â Padahal ini hanya soal serumpun pisang. Â Pikirkan jika ada dua tiga rumpun pisang.
Lalu ada satu artikel paralelisme tikus celurut dengan koruptor, sama dungu. Idenya dari enam ekor celurut yang masuk perangkap yang dipasang Poltak di pekarangan. Sama seperti tikus, koruptor juga tak belajar dari pendahulunya. Ide sahaja.Â