Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Waspadalah, "Profesor Humoris Causa" Ada di Sekitar Kita

6 Agustus 2020   15:03 Diperbarui: 6 Agustus 2020   16:40 870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penelitian virus mempersyaratkan laboratorium mikrobiologi dengan standar Biosafety Level-3 (Foto: labtech-indonesia.com)

Tradisi itu pula yang diadopsi LIPI sejak tahun 2004, dengan menganugerahkan gelar kehormatan Profesor Riset bagi peneliti dengan jabatan fungsional Ahli Peneliti Utama (APU) dan telah mengantongi angka kredit 1,050. Ya, selalu ada hal bagus yang layak dicontoh dari negara komunis.

Seorang Profesor dikukuhkan secara formal di depan Senat Guru Besar. Di situ Sang Profesor akan membacakan Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar (di bidang sains, teknologi, atau seni tertentu).  

Isi pidato itu pada dasarnya menunjukkan bidang keahlian, temuan, kebaruan (novelty), otentisitas,  dan posisi unik Sang Profesor di bidang keahlian yang ditekuninya. Boleh dibilang, pidato itu merupakan tetenger penanda tingkat keahlian bagi seorang Profesor.  

Jadi kalau Poltak mengaku Profesor bidang Batakologi, misalnya, tanyakan dan mintalah naskah orasi ilmiah atau Pidato Pengukuhan Guru Besar yang disusun dan dibacakannya. Jika dia tak dapat menunjukkannya, saya pastikan Poltak itu seorang "profesor kaleng-kaleng".  Saya sebut itu "profesor humoris causa", gadungan alias "profesor dagelan".

***
Gelar Profesor itu, karena sifatnya jabatan fungsional (dosen) atau penghormatan jabatan (riset),  otomatis tanggal begitu penyandangnya berhenti sebagai dosen atau periset.  Entah karena pensiun, mengundurkan diri, dipecat atau meninggal dunia.  

Tapi, gengsi atau sihir gelar Profesor itu rupanya kuat banget.  Makanya, walau sudah pensiun, seorang dosen atau periset masih tetap dipanggil Profesor. Sang "Profesor" , sih senang-senang saja. Malahan kemudian, agar tak menabrak norma, dimunculkan sebutan Profesor Emeritus. Maksudnya Profesor yang telah resmi pensiun dari institusi basisnya.

Perlu diketahui legalitas gelar Profesor seseorang itu berlaku selama penyandangnya masih menjadi bagian integral dari insitusi basisnya. Maksud saya,  institusi tempatnya berkarya dan yang mengajukan dan kemudian mengukuhkannya sebagai Profesor.

Jadi, kalau Prof. Poltak sudah pensiun atau diberhentikan dari institusi basinya, maka gelar Peofesornya otomatis tanggal. Walaupun Poltak kemudian kerja mengajar di universitas lain, atau meneliti di lembaga riset lain, gelar Profesornya tak berlaku lagi.  

Kecuali Poltak menulis namanya begini: Prof. Em. Poltak. Maksudnya, emeritus, pensiunan. Tapi, kesannya, kok gak ikhlas banget, ya. Bisik-bisik tetangga,  Poltak itu  mengidap "sindrom pasca-kuasa".

***
Gengsi tinggi dan sihir manjur gelar Profesor itu tak urung membuat banyak tokoh masyarakat, peguasa, pengusaha, dan politisi yang juga bernafsu mencantumkannya di depan nananya. Kendati dia bukan dosen (guru) ataupun periset.

Tenang, ada jalurnya sendiri. Namanya jalur cepat "Profesor Honoris Causa", penganugerahan gelar Profesor sebagai bentuk penghormatan atau penghargaan (honoris, honor, honour). Biasanya seorang tokoh dianugerahi gelar Profesor Honoris Causa (HC) karena jasa besarnya di bidang tertentu.  Entah itu jasa kepada dunia, bangsa dan negara, daerah, dan lain sebagainya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun