Anies Baswedan, Gubernur Jakarta telah mengungkap sebuah kesalah-pahaman ke ruang publik saat mengatakan naturalisasi sungai merupakan program penanggulangan banjir.
Anies telah mencanangkan proyek naturalisasi sungai itu sebagai pengganti proyek normalisasi sungai yang telah dijalankan pemerintah Jakarta sebelumnya.
Anies selalu menunjuk kasus naturalisasi Sungai Kallang Singapura sebagai kisah sukses pengendalian banjir. Tapi, ironisnya, justru di situlah letak kesalah-pahaman Anies Baswedan.
Naturalisasi Sungai Kallang bukanlah proyek penanggulangan banjir melainkan sebuah proyek taman kota terpadu. Proyek itu adalah bagian dari Program ABC Waters Singapura (Active, Beautiful, Clean Waters Programme).
Saya akan jelaskan soal naturalisasi Sungai Kallang itu nanti. Sebelum ke situ, saya akan jelaskan dulu secara ringkas program mitigasi banjir di Singapura. Lalu di ujuang saya akan berikan perbandingan ringkas mitigasi banjir Singapura dan Jakarta.
Program Mitigasi Banjir Singapura
Singapura, sebuah negara pulau atau negara kota seluas 721.5 km2, tidak memiliki sumber air tanah. Karena itu definisi operasional sungai di negara ini adalah saluran drainase air hujan dan air limbah rumah tangga, niaga, dan industri.
Negara ini punya sejumlah sungai di bagian selatan dan utara. Di bagian selatan ada tiga sungai alami utama yaitu Sungai Singapura, Sungai Kallang, dan Sungai Geylang. Lalu ada dua sungai buatan utama yaitu Kanal Stamford dan Kanal Rochor. Sebenarnya hulu Sungai Singapura itu juga kanal, dikenal sebagai Kanal Alexandra. (Lihat Peta).
Kota Singapura rawan banjir terutama saat musim penghujan. Berada di wilayah tropis, curah hujan rata-rata tahunan di pulau ini tercatat 2,340 mm/tahun.
Kejadian curah hujan harian tertinggi di kota pulau ini tercatat 512.4 mm (2/12/1978), 467 mm (1969) dan 366 mm (11/12/2006). Bulan November, Desember, dan Januari adalah bulan-bulan hujan lebat (di atas 200 mm) sekaligus bulan-bulan rawan banjir di Singapura.