Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dua Warung Makan, Dua Era di Jawa

31 Desember 2018   09:48 Diperbarui: 31 Desember 2018   15:12 808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: tribunnews.com

Saya membathin, "Warung ini seperti ruang makan keluarga saja, setiap anggota harus mendapat baguan makanan."

***

Kasus B, di era digital, pada hari Jumat 28 Desember 2018 di Wijilan, jalur gudeg yang sohor di Yogyakarta. Sekitar pukul 11.00 siang, saya sekeluarga untuk pertama kalinya mampir ke sana. Karena anak bungsu saya, terpengaruh rekomendasi kuliner di dunia maya, ingin merasakan langsung makan gudeg di salah satu warung gudeg legendaris di jalan itu.

Perjalanan ke sana dari Stasiun Tugu adalah perjuangan menembus kemacetan Yogya yang kini rupanya serupa Jakarta. Tapi, saya pikir, sepadanlah mengingat nikmatnya gudeg di warung kondang Wijilan itu. Bayangan saya seperti itulah.

Tiba di Wijilan, kami langsung menghampiri warung gudeg kondang itu. Belum juga kaki melangkah masuk warung, salah seorang pramusaji langsung setengah berteriak, "Habis!" Sependek itu teriakannya. Tanpa rasa sesal. Apalagi kata "maaf". 

Karena sekitar 25 meter dari warung itu ada satu lagi warung dengan nama yang sama, kamu coba peruntungan ke sana. Hasilnya sama, jawaban tanpa rasa empati, "Habis!"

Kami sekeluarga sungguh kecewa. Susah-payah datang ke Wijilan untuk makan gudeg. Dalam kondisi perut lapar pula. Tapi hanya mendapatkan penolakan seperti itu. 

Yang menyakitkan, kata "Habis!" itu hanya berlaku untuk calon konsumen seperti kami yang sudah susah-payah datang ke warung itu untuk makan. Faktanya, di warung itu saya lihat masih banyak gudeg dan kelengkapannya. Tapi para pelayan sibuk mengemasnya ke kotak-kotak makanan. Rupanya, stok gudeg di dua warung itu sudah habis dipesan orang di luar sana. Sehingga yang datang ke warung itu malah tidak kebagian.

 Saya membathin kesal, "Untuk apa buka warung untuk melayani pelanggan yang tidak datang ke warung?"

***

Prinsip asli warung adalah melayani pembeli yang datang secara fisik. Ada komunikasi transaksional yang bersifat langsung antara pewarung dan pembeli. Jika transaksi itu berulang secara terpola dalam waktu lama, maka hubungan yang terjadi adalah pewarung-pelanggan. Komunikasi menjadi lebih akrab.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun