Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Tepat, Fatwa MUI Larang Politisasi Agama

11 Mei 2018   16:16 Diperbarui: 12 Mei 2018   10:32 3380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber: islami.co)

Mari kita buat lebih sederhana dengan mengambil contoh moda produksi kapitalisme. Ini adalah sistem ekonomi berdasar pemilikan pribadi (pemodal, kapitalis) atas alat produksi (modal, kapital) yang digunakan dengan mendayagunakan tenaga buruh (upahan) untuk memperoleh keuntungan (surplus). Buruh tidak mendapat bagian dari surplus, tapi hanya mendapat upah atas tenaganya. Surplus sepenuhnya menjadi hak pemodal.

Konkretnya, ambil pabrik rokok sebagai contoh. Kapitalis adalah pemilik pabrik rokok dan bahan baku serta modal finansial. Buruh, mandor, dan manajer adalah buruh upahan untuk memproduksi dan memasarkan rokok.

Hubungan yang berlaku di situ adalah relasi "majikan - buruh". Keuntungan bersih dari hasil penjualan rokok adalah surplus yang menjadi hak majikan, sedangkan buruh hanya berhak atas upah.

***

Dengan pengertian moda produksi di atas, mudah-mudahan sudah kebayang seperti apa gelaja agama sebagai moda produksi politik. Mari kita urai unsur-unsurnya.

Pertama, surplus politik. Kalau dalam ekonomi surplus adalah keuntungan, maka dalam politik surplus adalah kekuasaan. Atau kedudukan politik tertentu, semisal presiden, gubernur, bupati/walikota, dan DPR/DRPR. Seperti keuntungan ekonomi, kedudukan/kekuasaan itu melekat pada satu orang, bukan pada rakyat sebagai entitas.

Surplus dalam wujud kekuasaan/kedudukan politik itu, katakanlah kepala daerah dan presiden, diperoleh melalui proses kontestasi politik yang dikenal sebagai "kampanye". Normalnya kampanye itu adu gagasan dan program pembangunan. Jadi isunya "netral", dalam arti relevan untuk seluruh unsur masyarakat atau bangsa.

Jadi unsur modal/kapital atau alat produksi politik di sini adalah "gagasan dan program pembangunan". Pemilik alat produksi politik itu adalah kontestan, katakanlah cagub atau capres. Alat itu kemudian dipasok kepada masyarakat (pemegang hak pilih), yang terposisikan sebagai "buruh politik", untuk diproses (dinilai dan disetujui/ditolak).

Hubungan yang berlaku dalam rabah politik adalah "panutan-pengikut" (patron-client) politik. Semakin banyak yang setuju, berarti semakin banyak "pengikut", sehingga semakin besar kemungkinan perolehan surplus bagi panutan atau cagub/capres. Demikian pula sebaliknya.

Jika alat produksi politik tadi bukan lagi berupa "gagasan dan program pembangunan", melainkan ajaran agama atau ayat Kitab Suci tertentu, maka di situ telah terjadi gejala agama sebagai moda produksi politik. Di situ relasi "panutan-pengikut" keagamaan telah ditransfer ke ranah politik, menjadi relasi "panutan-pengikut" politik.

Perlu diketahui dalam masyarakat kita relasi "panutan-pengikut" bidang keagamaan untuk sebagian juga berimpit dengan relasi bidang sosial, ekonomi, politik, budaya. Jadi transfer relasi "panutan-pengikut" antar ranah hidup sangat mudah terjadi. Sebab panutan saya di ranah agama, mungkin juga panutan saya di bidang ekonomi, politik, dan budaya. Karena itu, apa saja yang menjadi arahan, keputusan atau pilihan panutan, sudah pasti akan diikuti oleh "pengikut"nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun