Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pak Anies Baswedan Akan Menggalang Gerakan Sosial di Jakarta?

27 November 2017   13:06 Diperbarui: 27 November 2017   16:59 3999
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: indowarta.com

Tapi, setelah Pak Anies menjadi Mendiknas, apakah dia meningkatkan gerakan "Indonesia Mengajar"? Atau sekarang, dalam posisi selaku  Gubernur, apakah dia menerapkannya di Jakarta, khususnya di Jakarta Utara yang menurut Pak Anies tingkat partisipasi sekolahnya rendah?

Atau ambil kasus terbaru, gerakan sosial "Alumni 212" yang berkiprah di Jakarta. Tujuan gerakan "politik keagamaan"  ini adalah memenangkan kepemimpinan Islam di setiap Pilkada 2018, dan mencegah kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2019, dengan "test case" kemenangan Anies-Sandi pada Pilkada DKI Jakarta 2017 (baca: "Ketua Alumni 212: Tahun 2019 Ingin Presiden Kita Ganti Nggak", tempo.co, 5/11/17). Apakah Pak Anies selaku Gubernur Jakarta akan memfasilitasi gerakan ini agar semakin kuat? Sehingga mampu menghadang laju Pak Jokowi tahun 2019 nanti?

Menarik untuk membuktikannya dalam waktu dekat. Menurut pemberitaan, Alumni 212 berencana  menggelar peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW dan Reuni Akbar Alumni 212, sekaligus memperingati setahun aksi memprotes mantan Gubernur Jakarta Ahok, di Kawasan Monas tanggal 2/12/17 mendatang. Pak Anies sudah mulai memfasilitasinya dengan "membuka" kawasan Monas untuk acara keagamaan, sosial, dan budaya. Kita lihat apakah Pak Anies akan hadir nanti dalam acara itu, dan akan menyampaikan ujaran mendukung?

Belajar dari kajian-kajian pembangunan, didapat kesimpulan bahwa pencanangan  "gerakan" oleh pemerintah dapat berujung pada "mobilisasi sosial", atau sebaliknya "khaos sosial".

Yang disebut terakhir, khaos sosial,   menunjuk pada "ketidak-hadiran pemerintah". Urusan pembangunan diserahkan pada rakyat/pasar (laissez faire) sehingga kelompok-kelompok masyarakat bebas melakukan apa saja yang dimaui. Ujungnya bisa terjadi khaos sosial. Tapi untuk konteks Indonesia, hal seperti itu terlalu tipis kemungkinannya, mengingat organisasi pertahanan dan keamanan nasional kita terbilang kuat.

Untuk konteks Indonesia, yang lebih mungkin terjadi adalah "mobilisasi sosial", dalam arti pengerahan potensi kekuatan gerakan sosial dalam masyarakat untuk mensukseskan program pemerintah yang berkuasa. Gejala semacam itu sudah jamak pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto dulu.  Waktu itu ada Gerakan Keluarga Berencana,  Gerakan Bangun Desa, Gerakan Peningkatan Pendapatan Asli Daerah, dan lain-lain. Sekarang ini ada Gerakan Sejuta Pohon, Gerakan Makan Ikan, dan lain-lain.

Pendekatan "gerakan" semacam itu sejatinya adalah bentuk "partisipasi rakyat" menurut persepsi dan kepentingan pemerintah. Kepentingan pemerintah adalah mensukseskan program pembangunan. Maka bentuk partisipasi yang dibolehkan adalah partisipasi yang bersifat mendukung pencapaian program pembangunan yang dijalankan pemerintah. Di luar itu berarti anti-pembangunan, melawan pemerintah, sehingga harus diberangus.

Untuk memastikan sebuah "gerakan" partisipatif mendukung program pembangunan, maka lazimnya pemerintah akan memfasilitasinya, misalnya dengan memberikan sejumlah dana perangsang gerakan. Seperti yang sekarang direncanakan Pak Anies, mengalokasikan sejumlah dana APBD kepada organisasi-organisasi kemasyarakatan, yang merupakan potebsi "gerakan sosial".

Memberi dana semacam itu sejatinya adalah bentuk kooptasi, sehingga tidak ada pilihan lain bagi organisasi kemasyarakatan itu kecuali mendukung penguasa. Termasuk, lewat strategi mobilisasi, mendukung penguasa itu jika kelak mencalonkan diri lagi untuk masa jabatan berikutnya.

Jadi, bisa dikatakan, janji pergeseran pendekatan dari "program" ke "gerakan (sosial)" sejatinya tak lebih dari sekadar retorika enak kuping. Itu menurut saya tak lebih dari  kata lain untuk "partisipasi rakyat versi pemerintah", dengan orientasi "mobilisasi  kekuatan sosial". Tidak akan ada seorang penguasa yang sudi melakukannya, sebab itu berarti dia membangun kekuatan perlawanan sosial terhadap negara atau setidaknya kekuasaannya sendiri. 

Ada rencana "gerakan" tahun 2018 nanti tang bisa dilihat sebagai "test case" yaitu "Revolusi Putih", alias "Ayo Minum Susu!".  Fakta bahwa "gerakan" ini dicetuskan oleh Gerindra (sesuai warna putih seragamnya), lalu diakomodasi oleh Pak Anies sebagai program Pemda DKI Jakarta tahun 2018, sudah menunjukkan bahwa itu bukan "gerakan dari rakyat", tetapi program "filantropis" dari "atas" (pemerintah) khusus untuk "anak miskin" yang "kurang nyusu". Sebab siapa yang akan membeli susu bagi "anak-anak miskin" itu kalau bukan pemerintah? Apakah mungkin berharap rakyat akan menumbuhkan gerakan minum susu, dalam arti "beli susu sendiri", sementara untuk minum teh manis saja susah beli gula?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun