Bayangkan seorang anak pulang dari sekolah dengan mata yang sembab. Ia tidak terluka secara fisik, tetapi ucapannya pelan, nyaris tak terdengar. Ketika ditanya kenapa, ia hanya berkata, "Tadi guru marah besar, katanya saya bodoh karena tidak bisa menjawab."
Kisah seperti ini, sayangnya, bukan hanya milik satu anak. Ini cerita banyak anak di berbagai pelosok Indonesia yang hingga hari ini masih merasakan kerasnya ruang kelas---bukan karena sulitnya pelajaran, tapi karena pendekatan guru yang masih berakar pada budaya lama: keras demi disiplin, marah demi wibawa.
Kekerasan yang Tak Selalu Tampak
Kita sering mengira bahwa kekerasan di sekolah hanyalah soal fisik. Tapi hari ini, bentuk kekerasan jauh lebih halus---dan karena itu lebih sulit dikenali. Kata-kata yang menjatuhkan harga diri, sindiran di depan teman-teman, ekspresi yang merendahkan---semua ini bisa meninggalkan luka yang dalam di jiwa anak.
Kekerasan emosional ini sering dianggap 'sepele'. Padahal efeknya bisa bertahan lama. Anak yang terbiasa menerima kekerasan verbal dari guru bisa tumbuh menjadi pribadi yang minder, penakut, bahkan trauma terhadap proses belajar. Ia tidak mencintai sekolah, hanya takut darinya.
Mengapa Ini Masih Terjadi?
Ada dua kemungkinan. Pertama, guru mewarisi pola asuh pendidikan lama, di mana murid 'baik' adalah murid yang diam, menurut, dan tidak membantah. Kedua, banyak guru hari ini yang tidak mendapatkan pelatihan cukup untuk mengelola kelas dengan pendekatan yang positif dan komunikatif.
Dalam sistem yang serba tuntutan, di mana guru dituntut menyelesaikan administrasi, memenuhi target kurikulum, menghadapi tekanan orang tua dan kepala sekolah, tak sedikit yang akhirnya meledak---bukan pada sistem, tapi pada murid.
Era Sudah Berganti, Guru Juga Harus Bertransformasi
Kita hidup di era keterbukaan informasi. Anak-anak hari ini tumbuh dengan kesadaran kritis yang lebih tinggi. Mereka lebih peka, lebih ekspresif, dan lebih peduli dengan cara orang dewasa memperlakukan mereka.