Selama kuliah, saya tinggal di kos bersama seorang teman perempuan yang sangat saya akrabi. Fisiknya kurus, bahkan bisa dibilang sangat kurus. Tapi bukan itu yang membuat saya khawatir—melainkan pola hidup dan kebiasaannya yang tampak tak biasa.
Keluarganya tampak sehat, para perempuan di keluarganya pun memiliki postur ideal. Namun ia berbeda. Setiap hari saya menyaksikan bagaimana ia makan dalam porsi yang sangat sedikit, bahkan sering tidak habis. Dalam hati saya bertanya-tanya: apakah ia sedang memaksa diri untuk diet ekstrem? Ataukah ada sesuatu yang tak kasatmata?
Pola Makan Minim dan Mandi yang Terlalu Lama
Kami sekos cukup lama. Dan selama itu pula saya menjadi saksi rutinitasnya yang janggal. Makan sedikit, dan mandi sangat lama—bahkan bisa mencapai satu jam lebih hanya untuk mandi saja, tanpa mencuci rambut.
Awalnya, saya anggap ini hanya soal kebiasaan unik atau perfeksionisme pribadi. Tapi makin hari, saya merasakan ada yang tak wajar. Seakan tubuhnya dijauhi, bukan dirawat. Seperti ada rasa bersalah yang ia simpan, entah dari mana asalnya.
Luka Lama yang Akhirnya Terucap
Suatu hari, dalam keheningan kamar kos kami, ia akhirnya bercerita. Ia pernah mengalami kekerasan seksual di masa lalu. Sebuah pengakuan yang membuat saya diam seketika. Tidak ada drama, tidak ada tangis, hanya kalimat pelan yang menyimpan ribuan makna.
Ia merasa tubuhnya telah ternoda, dan setiap mandi panjang itu adalah usahanya untuk “membersihkan diri”. Sementara kebiasaan makannya yang sangat sedikit adalah bentuk penolakan terhadap tubuh yang telah menjadi saksi trauma.
Gangguan Makan dan Luka Psikologis
Dari pengalaman ini saya menyadari bahwa tubuh kurus tak selalu berarti sehat atau karena faktor genetik. Dalam banyak kasus, kondisi psikologis seperti trauma, depresi, kecemasan, bahkan gangguan makan seperti anoreksia atau bulimia bisa menjadi penyebab utama.