Dalam khazanah pendidikan Jawa, terdapat sebuah adagium yang begitu populer: "guru iku digugu lan ditiru." Ungkapan ini mengandung arti bahwa seorang guru adalah sosok yang harus dipercaya segala ucapannya (digugu) dan diteladani perilakunya (ditiru). Pada satu sisi, prinsip ini menegaskan posisi guru sebagai figur moral dan intelektual yang menjadi panutan peserta didik maupun masyarakat luas. Namun pada sisi lain, narasi ini semakin
dirasakan ketinggalan zaman ketika pendidikan memasuki abad ke-21, sebuah era yang ditandai oleh derasnya arus globalisasi, teknologi, serta perubahan cara pandang manusia terhadap pengetahuan.
M. Afiqul Adib dalam penelitiannya menegaskan bahwa prinsip "digugu lan ditiru" masih dipandang relevan dalam pembentukan kepribadian dan moral peserta didik, khususnya dalam konteks pendidikan agama Islam. Guru diharapkan mampu menjadi teladan, menghadirkan wibawa, serta menanamkan nilai-nilai karakter yang luhur melalui metode keteladanan dan pembiasaan. Akan tetapi, pandangan ini sekaligus menyisakan problem ketika prinsip tersebut diterima secara absolut tanpa mempertimbangkan dinamika perkembangan zaman dan kemerdekaan berpikir peserta didik.
Di sinilah teori konstruktivisme dapat digunakan untuk menggugat narasi usang tersebut. Teori konstruktivisme, sebagaimana dipaparkan oleh Suparlan, menekankan bahwa belajar adalah proses aktif di mana peserta didik membangun sendiri pengetahuannya. Guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber kebenaran, melainkan fasilitator yang menciptakan ruang dialog, eksperimen, dan refleksi bagi siswa. Dengan demikian, konstruktivisme menggeser posisi guru dari figur otoritatif yang selalu harus digugu, menjadi pendamping yang memberi kesempatan kepada siswa untuk menafsirkan dan membangun makna sendiri.
Prinsip "digugu lan ditiru" berakar pada budaya feodalistik yang menempatkan guru sebagai figur yang hampir tak terbantahkan. Ucapannya seolah hukum, tindakannya harus diteladani tanpa kritik. Kondisi semacam ini bertentangan dengan semangat pendidikan modern yang menuntut peserta didik aktif, kritis, dan kreatif. Dalam perspektif konstruktivisme, pengetahuan bukanlah sesuatu yang diwariskan begitu saja dari guru ke murid, melainkan hasil dari interaksi antara pengalaman, refleksi, dan proses berpikir. Oleh karena itu, menempatkan guru hanya sebagai figur yang digugu lan ditiru jelas mengabaikan hakikat belajar itu sendiri.
Adib memang menekankan bahwa guru perlu tampil sebagai sosok panutan moral. Akan tetapi, jika prinsip tersebut tidak diimbangi dengan kesadaran akan sifat partisipatif pendidikan, maka yang muncul hanyalah pengulangan narasi lama yang tidak memerdekakan siswa. Pendidikan berpotensi berubah menjadi indoktrinasi, bukan pencerdasan. Siswa hanya menjadi penerima pasif nilai-nilai yang disampaikan guru, tanpa diberi ruang untuk menguji, menafsirkan, bahkan menolak apabila tidak sesuai dengan konteks kehidupannya.
Konstruktivisme hadir untuk menawarkan perspektif baru. Dalam kerangka ini, guru tetap penting, tetapi bukan sebagai figur absolut. Guru berfungsi sebagai fasilitator yang menyiapkan lingkungan belajar, memotivasi siswa, serta membantu mereka menghubungkan pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki. Proses
pembelajaran yang ideal justru terjadi ketika siswa berani mengkritisi, berdiskusi, dan bahkan berbeda pendapat dengan guru. Sikap ini bukanlah bentuk pembangkangan, melainkan refleksi dari proses konstruksi pengetahuan.
Misalnya, ketika guru menyampaikan suatu nilai atau norma, konstruktivisme menekankan bahwa siswa perlu diberi kesempatan untuk mengaitkan norma tersebut dengan pengalaman pribadinya. Siswa diajak menganalisis, berdialog, dan menemukan makna, bukan sekadar menerima begitu saja. Dalam proses ini, guru mungkin tetap menjadi figur
yang diteladani, tetapi posisinya tidak lagi tunggal dan absolut. Dengan kata lain, guru digugu dan ditiru bukan karena statusnya, melainkan karena argumentasi, sikap, dan perilakunya memang layak untuk dipercaya serta
diteladani.
Kritik terhadap narasi "digugu lan ditiru" juga penting dilihat dari konteks abad ke-21. Seperti dijelaskan oleh Adib, murid-murid sekarang cenderung lebih kritis, terbiasa dengan akses informasi yang luas, dan hidup dalam lingkungan digital yang dinamis. Apabila guru tetap diposisikan sebagai figur otoritatif yang tak boleh disanggah, maka pendidikan akan mengalami disonansi: di satu sisi murid terbiasa kritis, tetapi di sisi lain mereka dipaksa tunduk pada narasi tradisional. Akibatnya, ketegangan antara tradisi dan modernitas dalam dunia pendidikan tidak terhindarkan.
Lebih jauh, konstruktivisme tidak hanya menolak paradigma lama, tetapi juga membangun alternatif. Suparlan menyebutkan bahwa guru dalam pendekatan konstruktivistik harus menciptakan situasi pembelajaran yang membuat siswa aktif, misalnya dengan mengamati fenomena, merumuskan hipotesis, berdiskusi, hingga mempraktikkan konsep  dalam kehidupan sehari-hari. Dengan cara ini, siswa belajar bahwa pengetahuan bersifat dinamis, terbuka untuk revisi, dan senantiasa diperkaya oleh pengalaman baru. Hal ini kontras dengan prinsip "digugu lan ditiru" yang lebih menekankan pada stabilitas, kepatuhan, dan penerimaan tanpa syarat.
Namun demikian, penting juga dicatat bahwa kritik terhadap narasi "digugu lan ditiru" tidak berarti menafikan seluruh nilai yang terkandung di dalamnya. Prinsip ini masih relevan sejauh menekankan pentingnya integritas, keteladanan moral, dan konsistensi seorang guru. Akan tetapi, prinsip tersebut perlu dipahami ulang dalam kerangka konstruktivisme. Guru memang harus bisa dipercaya (digugu), tetapi kepercayaan itu lahir dari keterbukaan dialog, bukan dari otoritas buta. Guru juga memang harus menjadi teladan (ditiru), tetapi keteladanan itu bukanlah sesuatu yang dipaksakan, melainkan lahir dari autentisitas perilaku dan konsistensi nilai.
Adib, M. A. (2022). Aktualisasi Prinsip "Digugu lan Ditiru" dalam Pengembangan Kualitas Guru PAI di Abad-21. JURNAL HURRIAH: Jurnal Evaluasi Pendidikan dan Penelitian, 3(3), 73-82.Â