Menikah Satu atau Empat? Poligami: Sunah atau Syariat Islam
Pernikahan merupakan salah satu fitrah manusia yang diatur secara jelas dalam syariat Islam. Isu Poligami (nikah lebih dari satu istri) sering menjadi topik perdebatan di kalangan umat Islam. Ada yang menganggap poligami sunah Nabi, namun ada pula yang menekankan bahwa itu sekadar dibolehkan oleh syariat dengan syarat tertentu. Dalam konteks inilah kita menelaah QS. An-Nisa 4:3 ayat yang membahas izin poligami, sebagaimana dijelaskan dalam berbagai tafsir Al-Qur'an, salah satunya tafsir Hidyah al-Qur'n karya Dr. K.H. M. Afifuddin Dimyathi yang memberikan penjelasan kontekstual dan moderat tentang makna keadilan, batasan, serta hikmah poligami.
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu kembali kepada sumber utamanya: Al-Qur'an, khususnya Surat an-Nis' ayat 3, yang menjadi dasar hukum poligami dalam Islam. Allah berfirman:
Artinya: "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba-hamba sahaya yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya" (QS. an-Nis': 3)
Maknanya:
Wahai para wali (penanggung perempuan yatim) jika kalian khawatir tidak akan mampu berbuat adil kepada perempuan-perempuan yatim apabila kalian menikahi mereka, lalu kalian khawatir akan berbuat zalim dalam memperlakukan mereka karena kalian tidak mencintainya, maka berpalinglah dari mereka dan menikahlah dengan perempuan-perempuan lain yang halal bagi kalian dan yang hati kalian condong kepadanya. Barang siapa ingin menikahi dua istri, silakan; tiga, silakan; empat, silakan tetapi jangan lebih dari itu. Dan jika kalian khawatir pula bahwa kalian tidak akan bisa berlaku adil di antara istri-istri yang empat itu, maka cukupkanlah diri dengan seorang istri saja. (Tafsir Hidayah al-Qur'an, an-Nisa: 3)
Bagian ini menegaskan sebab turunnya (asbb al-nuzl) dari ayat poligami. Pada masa awal Islam, sebagian laki-laki menikahi anak yatim perempuan yang berada di bawah tanggungannya, bukan karena cinta atau niat baik, tetapi karena ingin menguasai harta mereka. Maka turunlah ayat ini untuk melindungi hak perempuan yatim. Islam mengajarkan bahwa jika seseorang khawatir tidak akan berlaku adil kepada anak yatim bila menikahinya, maka lebih baik menikah dengan perempuan lain yang bukan yatim dan yang dicintainya. Karena pernikahan tanpa rasa cinta dan keadilan akan membawa kezaliman. Ayat ini juga membatasi jumlah istri maksimal empat, berbeda dengan tradisi jahiliyah yang tidak terbatas. Namun, batas empat ini bukan perintah untuk berpoligami, melainkan izin bersyarat. Allah menutup dengan kalimat, "Jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (nikahilah) satu saja," sebagai penegasan bahwa keadilan adalah syarat mutlak poligami. Jika keadilan tidak mampu ditegakkan, maka satu istri lebih baik dan lebih dekat kepada ketaqwaan serta terhindar dari dosa dan kezaliman.
.
Maknanya:
Dan jika kalian juga takut akan berbuat zalim terhadap diri kalian sendiri dalam urusan (menikahi) seorang perempuan merdeka, maka janganlah menikahinya. Namun bolehlah kalian mendekati budak perempuan yang kalian miliki, karena kalian lebih aman untuk tidak berbuat zalim kepada mereka. Sebab mereka adalah milik kalian dan termasuk harta benda kalian, serta kalian tidak wajib berlaku adil dalam pembagian giliran bagi budak perempuan. Budak perempuan biasanya rela dengan sedikit mahar, dan hubungan itu tetap merupakan pernikahan yang sah secara syar'i.
Bagian ini menjelaskan alternatif syar'i bagi laki-laki yang belum mampu menikah secara penuh (baik secara ekonomi/emosional). Jika seorang laki-laki khawatir tidak dapat menanggung kewajiban suami terhadap istri merdeka (misalnya nafkah, tempat tinggal, dan keadilan emosional), maka Islam membolehkan menikahi budak perempuan (pada masa perbudakan masih berlaku) karena tanggung jawabnya lebih ringan. Namun, catatan penting dalam konteks modern: hukum perbudakan telah dihapus, sehingga konteks ini kini tidak lagi berlaku secara praktik, tetapi tetap menjadi pelajaran moral. Intinya, ayat ini menekankan bahwa Islam tidak mendorong poligami atau hubungan tanpa tanggung jawab, melainkan mengatur semuanya dengan adil agar tidak menimbulkan kezaliman terhadap perempuan.