Green Economy atau Ekonomi Hijau adalah sebuah pendekatan pembangunan ekonomi yang tidak lagi mengandalkan pembangunan ekonomi berbasis eksploitasi sumber daya alam dan lingkungan yang berlebihan. Ekonomi Hijau juga dapat diterjemahkan sebagai ekonomi yang rendah (atau tanpa) karbon, menggunakan sumber daya secara efisien, dan berkeadilan sosial. Konsep ini muncul untuk menggantikan konsep ekonomi lama yakni business-as-usual (BAU) yang sering dikritisi mengeluarkan banyak karbon, tidak hemat sumber daya, dan memunculkan isu sosial tertentu. Konsep lama tersebut memunculkan risiko bahwa bumi yang kita tempati tidak akan dapat menanggung konsekuensi negatif yang muncul untuk beberapa tahun kedepan. Untuk itu, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui salah satu badan organisasinya, United Nations Programme (UNEP) telah meluncurkan Green Economy Inisiatives (GEI) untuk mendorong penerapan ekonomi hijau oleh negara-negara anggotanya sejak bulan November 2008. Lalu, bagaimana komitmen penerapan ekonomi hijau tersebut di Indonesia khususnya melalui Kementerian Keuangan?
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa adanya kesadaran masyarakat dunia terhadap ancaman perubahan iklim menjadi kesempatan bagi Indonesia yang memiliki sumber daya alam dan determinasi untuk melakukan transformasi ekonomi. Melalui Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021, pemerintah menyiapkan dua instrumen dengan menggunakan mekanisme pasar dalam mengakselerasi transformasi ekonomi hijau. Pertama, pemerintah menggunakan instrumen perdagangan, yaitu sistem perdagangan karbon yang sifatnya mandatory dan mekanisme offsetting. Kedua, pemerintah menggunakan instrumen non-perdagangan, yaitu melalui result based payment dan juga pajak karbon. Indonesia juga diketahui merupakan negara berkembang pertama yang menerbitkan sovereign sukuk green di pasar dunia. Selain itu, instrumen pembiayaan hijau melalui green sukuk juga telah diterbitkan oleh pemerintah.
Pajak karbon mulai diterapkan di Indonesia sejak 1 April 2022 melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pajak ini dikenakan atas pembakaran bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi karbon dioksida (CO2). Penerapan pajak ini ditujukan untuk memerangi perubahan iklim yang disebabkan emisi karbon, lantaran Indonesia merupakan anggota United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang memiliki target untuk menurunkan tingkat emisi sebesar 29% hingga 2030. Penerapan pajak karbon ini sendiri di Indonesia menjadi penting karena Indonesia merupakan salah satu kontributor emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Sebagai negara dengan hutan hujan tropis dengan biodiversity yang cukup besar, tentu perhatian negara-negara di dunia begitu besar kepada penerapan ekonomi hijau di Indonesia. Pajak karbon yang tertuang di UU HPP menjadi salah satu tahapan awal di dalam road map menuju ekonomi hijau di Indonesia.
Telah banyak contoh kesuksesan penerapan pajak karbon yang pada akhirnya terbukti memberikan dampak pada penurunan emisi karbon. Finlandia dan Selandia Baru  adalah dua negara pertama di dunia yang menerapkan pajak karbon masing-masing pada tahun 1990 dan 2005. Sedangkan di Asia Tenggara, Singapura menjadi negara pertama yang menerapkan pajak karbon sejak tahun 2019. Jepang yang telah menerapkan pajak karbon sejak 2013 telah membuktikan berhasil mengurangi emisi karbon sampai dengan 8,2% selama 6 tahun. Negara lain seperti Denmark, Belanda, dan Swedia juga telah menerapkan pajak karbon dan merasakan adanya penurunan emisi karbon disertai dengan penambahan pemasukan negara dari penerimaan pajak.
Sebagai tahap awal, pajak karbon akan diterapkan pada sektor PLTU batu bara pada 1 April 2022. Bagi PLN, pengenaan pajak karbon berpotensi menaikkan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Pembangkitan. Kebijakan ini akan berdampak pada harga jual listrik yang naik. Artinya, penetapan pajak karbon ini dinilai bisa merugikan konsumen jika implementasinya tak direncanakan dengan baik dan dilakukan bertahap. Konsumen akan menanggung pajak karbon melalui perantara seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang seharusnya ditanggung perusahaan. Pengenaan pajak karbon ini juga diprediksi berdampak pada daya beli dan konsumsi masyarakat. Hal ini disebabkan karena adanya penambahan pajak yang berpotensi menaikkan biaya produksi.
Pajak karbon adalah pajak yang bersifat disinsentif dan digunakan untuk mengatasi kegagalan pasar yang menimbulkan eksternalitas negatif. Pajak karbon ini sendiri bertujuan untuk mengubah perilaku para pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon, mengurangi emisi gas rumah kaca dari sumber emisi, tambahan penerimaan negara, dan bukti keseriusan Indonesia dalam agenda perubahan iklim di tingkat global. Pada praktiknya di lapangan, masyarakat berharap penerapan pajak ini tidak akan tumpang tindih dengan pajak lainnya yang dapat menyebabkan double taxation dan memberatkan masyarakat. Pada akhirnya, penerimaan pajak karbon diharapkan digunakan untuk kegiatan-kegiatan tertentu yang dapat mendorong pengurangan emisi karbon. Misalnya, investasi pada mesin-mesin yang berteknologi green industry sehingga dapat mengurangi dan mengatasi dampak yang disebabkan oleh karbon itu sendiri. Hal ini berbeda dengan penerimaan pajak seperti pada umumnya yang digunakan untuk belanja umum, biaya pegawai, pembangunan jalan dll.
Kementerian Keuangan telah berkomitmen untuk membangun ekonomi hijau di Indonesia dengan berbagai kebijakannya, salah satunya dengan penerapan pajak karbon. Dengan tarif pajak karbon yang tergolong rendah dibandingkan dengan negara lain, hanya Rp 30,00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e), Kementerian Keuangan tentu akan melakukan evaluasi dan penyesuaian karena pajak karbon merupakan jenis corrective tax. Kementerian Keuangan telah menyusun peta jalan pajak karbon hingga tahun 2025, dimana pada tahun 2025 tersebut akan dilakukan perluasan sektor pemajakan pada pajak karbon. Menkeu sendiri telah menyampaikan bahwa penerapan pajak karbon sebagai instrumen pengendalian iklim di Indonesia akan menerapkan prinsip adil dan keterjangkauan dan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat luas.   Diharapkan, Indonesia dapat menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030.  Sebagai bagian dari insan Kementerian Keuangan khususnya sebagai pegawai Direktorat Jenderal Pajak, penulis berharap dapat  memberikan kontribusi nyata dalam penerapan pajak karbon di lapangan menilik pajak karbon masih  tergolong baru dan belum adanya kesadaran pelaku industri atas emisi karbon yang mereka hasilkan serta dampak yang menyertainya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI