Mohon tunggu...
Mohammad Rasyid Ridha
Mohammad Rasyid Ridha Mohon Tunggu... Bukan siapa-siapa namun ingin berbuat apa-apa

Pekerja di NKRI Pengamat Sosial, pecinta kebenaran...Masih berusaha menjadi orang baik....tak kenal menyerah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Iklas di Depan Pasrah di Belakang

21 Februari 2025   10:51 Diperbarui: 21 Februari 2025   10:51 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: koleksi pribadi)

Suatu saat Andi datang bertamu ke rumah Badu. Mereka berdua adalah teman SMA yang telah lama tidak bertemu. Singkat cerita Andi bercerita tentang keadaan keluarganya yang sedang tidak baik-baik saja. Andi mengatakan sedang butuh uang sebesar 5 juta rupiah untuk membayar uang kuliah anaknya. Untuk itu Andi ingin meminjam kepada Badu.

Badu dengan seksama mendengarkan cerita Andi dan turut berempati dengan kondisi hidupnya. Meskipun dia tahu jika Andi mempunyai banyak hutang ke teman-temannya dan belum ada kabar yang sudah dilunasinya, Badu merasa perlu membantu Andi. Tanpa banyak cakap, Badu langsung mentransfer uang tersebut ke rekening Andi. Seketika Andi mengucapkan terimakasih tak terkira pada Badu sembari berjanji akan melunasi pinjaman tersebut dalam waktu 6 bulan.

Waktu berjalan hingga sudah lewat 7 bulan dan Andi tidak ada kabar apapun tentang pelunasan hutangnya pada Badu. Sementara Badu saat ini ada keperluan dan membutuhkan dana segar. Ia ingat punya piutang 5 juta rupiah pada Andi. Segera ia menelpon Andi untuk menagih hutangnya. Telponnya tidak diangkat, kemudian Badu mengirim pesan WA kepada Andi. Hari berikutnya Badu kembali mencoba menelpon dan mengirim pesan pada Andi, namun sekarang nomernya Andi sudah tidak aktif.

Setelah hampir sebulan mencoba berbagai cara menghubungi Andi namun selalu gagal, akhirnya Badu memutuskan menyerah. Badu pasrah akan nasib uangnya yang dipinjam Andi dan berniat mengikhlaskannya. Badu tidak punya pilihan lain, hanya pasrah dan ikhlas saja.

Seringkali kita mengalami kondisi seperti Badu, di saat lagi butuh-butuhnya namun tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengambil hak kita sendiri. Pada saat awal-awal, mungkin kita tidak memprediksi hal tersebut akan terjadi, pun membayangkannya saja tidak. Pikiran positif selalu mengiringi gerak langkah kita, terkadang menghilangkan sikap kehati-hatian dan kewaspadaan.

Saat kita tidak punya pilihan apapun, tidak bisa berbuat apa-apa, maka yang terjadi hanyalah kepasrahan. Menyerahkan segalanya pada yang Maha Kuasa, yang terkadang diiringi keikhlasan, kadang tidak. Contohnya Badu, saking pasrahnya tidak bisa menagih dia memilih mengikhlaskan duitnya yang dipinjam Andi. Namun bisa jadi dia pasrah tapi tidak mengikhlaskan dengan berkata "saya tidak apa-apa hutangnya tidak dibayar, tapi saya tidak akan pernah ridho dan ikhlas".

Ikhlas, kata yang sering kita dengar, ucapkan dan praktekan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ikhlas berarti bersih hati atau tulus hati. Sementara itu ada 3 Tingkatan Ikhlas menurut Syekh Nawawi Al-Bantani:

  1. Ikhlash karena Allah.
  2. Ikhlash karena Akhirat.
  3. Ikhlash karena Dunia.

Seorang teman pernah berkata, "Cak, kalau ikhlasmu ada di belakang itu sih biasa-biasa saja karena kamu sudah gak bisa ngapa-ngapain. Tapi coba ikhlas itu di depan, tingkatnya lebih tinggi."

Setelah saya renungkan, benar juga nasehat teman saya. Atas apapun tindakan, keputusan, bantuan yang kita lakukan, alangkah baiknya kita ikhlaskan di awal. Apapun yang terjadi jika nantinya tidak berakhir baik, maka kita memang sudah ikhlas dari awal, sehingga tidak akan ada grundelan dan ikhlas "terpaksa" akibat kepasrahan.

Saya lagi belajar menerapkan konsep keihlasan di depan dalam segala aktivitas. Rasanya lebih tenang di hati, saat tidak ada keterpaksaan dan siap "kehilangan". Terkadang kita memang harus memaksa diri belajar dan menerapkan ikhlas, biar tidak tercampur antara pasrah dan ikhlas. Kata teman ikhlas itu di depan, di belakang namanya pasrah. Ah saya ikhlasin aja pendapat teman saya itu, wong saya tidak punya argumen untuk menolak atau mendebatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun