Mohon tunggu...
Muhammad Rizki
Muhammad Rizki Mohon Tunggu... -

Sipil ITB dan MSc Sustainable Energy Futures Imperial College. Bekerja di PLN sejak tahun 2010.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Menyoroti Isu Lingkungan dari Film "Sexy Killers"

18 April 2019   08:53 Diperbarui: 19 April 2019   15:13 4883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saya percaya banyak yang bersedia untuk membayar listrik dengan harga tinggi kalau memang listriknya dari energi bersih. Tapi EBT seperti matahari dan angin punya karakteristik intermittency, yaitu kapasitasnya naik turun. Bisa-bisa lagi pasang AC, mencuci baju, nyetel PC di rumah listriknya mati beberapa jam karena sedang mendung atau angin tidak berhembus.

Saya malah lebih yakin teman2 akan menyesal sudah bayar listrik mahal-mahal tapi listriknya cepat mati. Belum peralatan listrik di rumah yang cepat rusak karena listrik yang on off. Pakai baterai dong? Ini cuma akan membuat harga listrik semakin mahal. Sungguh saya gak tega, karena saya pernah bersinggungan dengan orang tidak mampu yang selama Indonesia merdeka mereka baru mendapat listrik, tapi bayar tagihan listrik subsidi saja tidak mampu.

Seberapa kesal kita dengan batu bara, PLTU tetap akan dibutuhkan dan pembangkit solar PV serta angin belum mampu untuk menggantikan peran PLTU. Yang menurut saya misleading dari film ini adalah mengapa keberadaan PLTU dipermasalahkan, kenapa tidak fokus pada sustainabilitas proses penambangan batu bara yang ternyata diotaki oleh elite-elite kita sendiri

Sebagai pembanding, total jumlah ekstraksi batu bara nasional di tahun 2017 adalah 461 juta ton, dan yang digunakan untuk PLTU adalah 83 juta ton atau hanya 18% saja. Sisanya, untuk industri domestik sebesar 14 juta ton, dan selebihnya diekspor ke luar negeri. Seharusnya, yang disorot adalah kelebihan jumlah ekspor batu bara. Mengapa banyak sekali jumlah yang diekspor ketimbang yang digunakan di dalam negeri? Ya karena harga jualnya lebih tinggi.

Di sini siapa yang diuntungkan? tentunya pengusaha-pengusaha batu bara. Jangan sampai kita terbodohi dan mengorbankan kepentingan nasional dengan berusaha memblokade PLTU. Siapa yang dirugikan? lagi-lagi masyarakat.

Seandainya si pembuat film tidak malas riset, mungkin di dalam filmnya tidak akan mengambinghitamkan PLTU. Karena hampir di seluruh belahan dunia, setiap negara pun masih menggunakan PLTU. 

UK saja masih menggunakan PLTU padahal revolusi industri sudah lebih dari 200 tahun yang lalu. China, negara yang giat membangun EBT pun apalagi, kapasitas PLTU mereka secara total adalah satu Juta Megawatt, satu juta bro, kita saja masih 28 ribu.

Amerika pun masih menggunakan batu bara untuk 30% kebutuhan listriknya, berapa jumlahnya? 5 kali lipat total listrik yang dibangkitkan PLN. Mereka protes adanya PLTU, terus gimana solusinya? Dimatikan hanya membuat rakyat sengsara karena listriknya ga ada.

Jika kita harus berbicara tentang penghapusan PLTU, satu-satunya cara paling feasible mensubstitusi PLTU adalah dengan membangun PLTN. Inilah yang diterapkan oleh Perancis yang 70% listriknya berasal dari nuklir. 

Apakah Indonesia bisa mengikuti Perancis? Bisa jawabannya, tapi apakah mau? Ini yang harus diteriakkan ke telinga para elite-elite politik yang bisa jadi punya konflik kepentingan penjualan batu bara.

Percayalah, banyak hal yang ditutupi di film ini, tentang bagaimana masyarakat yang mendapat listrik murah dan bagaimana ekonomi mereka bisa maju dengan adanya listrik di tempat mereka. Inilah yang sayangnya tidak disampaikan di film.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun