Mohon tunggu...
Seniya
Seniya Mohon Tunggu... Ilmuwan - .

Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan, mungkin akan dilupakan atau untuk dikenang....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Maghapuja: Ketika Para Bhikkhu Arahat Berkumpul

24 Februari 2013   09:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:47 3106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tepat pada hari ini, Minggu, tanggal 24 Februari 2013, jatuh pada bulan purnama atau dalam penanggalan lunar Cina (Imlek) tanggal 15 bulan pertama. Bagi orang-orang Tionghoa pada umumnya, hari ini dikenal sebagai Cap Go Meh (Malam Tanggal Lima Belas), perayaan lima belas hari setelah Sin Cia atau tahun baru Imlek. Namun ini adalah perayaan dalam tradisi dan budaya Cina.

Bagi umat Buddha, hari ini juga bertepatan dengan peringatan hari Maghapuja yang jatuh pada bulan purnama bulan Magha dalam kalender Buddhis. Maghapuja (puja/penghormatan di bulan Magha) merupakan salah satu dari empat hari besar dalam agama Buddha (tiga hari besar Buddhis lainnya adalah Waisak, Asadha, dan Kathina), yang memperingati peristiwa berkumpulnya 1250 orang bhikkhu di Vihara Veluvana di mana Sang Buddha sedang berdiam pada saat itu.

Tidak seperti di Indonesia di mana umat Buddha hanya memperingati Maghapuja secara sederhana di vihara-vihara, di negera-negera Buddhis seperti Thailand dan Myanmar peringatan ini dirayakan secara meriah dengan berbagai festival dan upacara keagamaan.[1] Namun demikian, yang terpenting bukanlah berapa besar dan meriahnya peringatan Maghapuja dilakukan, melainkan sejauh mana umat Buddha memaknai peringatan ini dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh sebab itu, dalam tulisan ini kita akan membahas sedikit lebih mendalam tentang sejarah dan makna peristiwa ini dalam ajaran Buddha.

Sejarah

Peristiwa Maghapuja tidak disebutkan secara eksplisit dalam kitab Tipitaka Pali (yang terdiri dari Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka, dan Abhidhamma Pitaka), namun secara ringkas disebutkan dalam kitab komentar  atau penjelasan (atthakatha) dari Dīghanakha Sutta, Majjhima Nikaya 74.

Dīghanakha Sutta, sesuai dengan judulnya, adalah kotbah Sang Buddha kepada pertapa pengembara Dīghanakha tentang pandangan filosofis yang dianut sang pertapa pengembara itu. Di sini Sang Buddha menunjukkan kesalahan dari pandangan pertapa Dīghanakha tersebut dan mengajarkan bahwa seorang yang bijaksana setelah menyadari bahwa satu pandangan yang dianut dapat bertentangan dengan pandangan lain sehingga menyebabkan perselisihan, tidak menganut pandangan apa pun dan melepaskan semua pandangan.

Kemudian Sang Buddha melanjutkan dengan menjelaskan bahwa jasmani adalah tidak kekal (anicca), penderitaan (dukkha), dan bukan diri (anatta). Ketika seseorang menganggap jasmani ini seperti ini, ia akan meninggalkan keinginan, kasih sayang, dan kepatuhan pada jasmani. Demikian juga, tiga jenis perasaan (perasaan menyenangkan, tidak menyenangkan, dan netral) adalah tidak kekal, penderitaan, dan bukan diri. Dengan perenungan yang demikian dalam meditasi, seseorang akan mencapai pembebasan batin (Nibbana). Seseorang yang batinnya telah terbebaskan tidak memihak siapa pun dan tidak berselisih dengan siapa pun dalam hal pandangan-pandangan filosofis. Ia menggunakan kata-kata dan bahasa yang digunakan di dunia ini tanpa melekatinya. Selengkapnya tentang isi kotbah ini bisa dibaca di sini.

Pada akhir kotbah, pertapa Dīghanakha mencapai kesucian Sotapanna dan Bhikkhu Sariputta, salah satu siswa utama Sang Buddha yang sedang mengipasi Beliau di belakang-Nya, yang juga paman dari Dīghanakha, mencapai kesucian Arahat. Sebelumnya Bhikkhu Sariputta yang dikenal juga sebagai siswa Sang Buddha yang terkemuka dalam hal kebijaksanaan baru mencapai kesucian Sotapanna dan baru ditahbiskan sebagai bhikkhu selama dua minggu.

Teks kanon (kitab suci) Pali berhenti sampai di sini, tetapi kitab komentar menambahkan sebagai berikut:

"Setelah menyelesaikan khotbahnya saat matahari terbenam, Sang Buddha turun dari Gijjhakūṭa (Puncak Burung Nazar) dan pergi ke Veluvana (Hutan Bambu) dan berkumpul dengan para siswanya. Perkumpulan tersebut memiliki empat keistimewaan (cāturaṅgasannipāta):


  1. Terjadi pada bulan Māghā di bulan purnama uposatha[2],
  2. Para siswa yang berkumpul berjumlah 1250 orang bhikkhu dan berkumpul secara alami sendiri-sendiri tanpa diundang,
  3. Di antara mereka, tidak ada satu pun yang merupakan orang biasa yang belum mencapai kesucian batin, Sotapanna, Sakādagami, Anāgami ataupun Arahat yang mencapai kesucian murni dari meditasi pandangan terang (vipassana), melainkan mereka adalah para Arahat dengan enam jenis kekuatan batin (abhiññā)[3], dan
  4. Tidak ada satu pun yang ditahbiskan dengan mencukur rambutnya sendiri, melainkan ditahbis melalui ucapan 'ehi bhikkhu' (datanglah, oh bhikkhu)."[4]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun