Mohon tunggu...
Seniya
Seniya Mohon Tunggu... Ilmuwan - .

Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan, mungkin akan dilupakan atau untuk dikenang....

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Waisak: Tiga Peristiwa Biografis Sang Buddha dalam Tipitaka Pali

5 Mei 2012   05:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:40 1262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tiga Peristiwa Waisak

Tempat peristirahatan terakhir Sang Buddha:

Sang Bhagavā berkata: ‘Ananda, mari kita menyeberangi Sungai Hiraññavatī dan pergi ke Hutan-sāl Malla di sekitar Kusinārā.’ ‘Baiklah, Bhagavā,’ jawab Ānanda, dan Sang Bhagavā, bersama sejumlah besar bhikkhu, menyeberangi sungai dan pergi ke hutan-sāl. Di sana Sang Bhagavā berkata: ‘Ānanda, siapkan tempat tidur untuk-Ku di antara pohon sāl-kembar ini dengan kepala-Ku mengarah ke utara. Aku lelah dan ingin berbaring.’ ‘Baik, Bhagavā,’ jawab Ānanda, dan melakukan sesuai instruksi. Kemudian Sang Bhagavā berbaring pada posisi kanan dalam posisi singa, meletakkan satu kaki-Nya di atas kaki lainnya, penuh perhatian dan kesadaran jernih. Dan pohon-sāl kembar itu menggugurkan banyak sekali bunga-bunganya yang mekar tidak pada musimnya, yang jatuh di atas tubuh Sang Tathāgata, menaburkan dan menyelimuti sebagai penghormatan. Bunga-bunga pohon koral surgawi jatuh dari angkasa, serbuk cendana surgawi jatuh dari angkasa, menaburkan dan menyelimuti tubuh Sang Tathāgata sebagai penghormatan. Musik dan nyanyian surgawi terdengar di angkasa sebagai penghormatan kepada Sang Tathāgata. Dan Sang Bhagavā berkata: ‘Ānanda, pohon-sāl ini berbunga banyak tidak pada musimnya ... musik dan nyanyian surgawi terdengar di angkasa sebagai penghormatan kepada Tathāgata. Belum pernah sebelumnya, Tathāgata begitu dihormati, dipuja, dihargai, dan disembah. Akan tetapi, Ānanda, para bhikkhu, bhikkhunī, umat-awam laki-laki atau perempuan mana pun juga yang mempraktikkan Dhamma dengan benar, dan dengan sempurna memenuhi jalan-Dhamma, ia telah memberikan penghormatan dan pemujaan tertinggi kepada Tathāgata. Oleh karena itu, Ānanda, “Kita harus mempraktikkan Dhamma dengan benar dan dengan sempurna memenuhi jalan-Dhamma” – ini harus menjadi sloganmu.’

Ratap tangis Ananda:

Dan Yang Mulia Ānanda pergi ke tempat tinggalnya dan berdiri meratap, bersandar pada tiang pintu. ‘Aduh, aku masih seorang pelajar yang masih harus melakukan banyak hal! Dan Sang Guru segera akan wafat, yang sangat berbelas kasihan kepadaku!’ Kemudian Sang Bhagavā bertanya kepada para bhikkhu di mana Ānanda berada dan mereka memberitahu-Nya. Maka Beliau berkata kepada seorang bhikkhu: ‘Pergilah, bhikkhu, dan katakan kepada Ānanda: “Sahabat Ānanda, Guru memanggilmu.”’ ‘Baiklah, Bhagavā,’ jawab bhikkhu itu, dan melakukan sesuai instruksi. ‘Baiklah, Sahabat,’ Ānanda menjawab kepada bhikkhu tersebut, dan ia menghadap Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau dan duduk di satu sisi.
Dan Sang Bhagavā berkata: ‘Cukup, Ānanda, jangan menangis dan meratap! Bukankah Aku sudah mengatakan kepadamu bahwa segala sesuatu yang indah dan menyenangkan pasti mengalami perubahan, pasti berpisah dan menjadi yang lain. Jadi, bagaimana mungkin, Ānanda – karena segala sesuatu yang dilahirkan, menjelma, tersusun pasti mengalami kerusakan – bagaimana mungkin hal itu tidak berlalu? Sejak lama, Ānanda, engkau telah berada di sisi Sang Tathāgata, memperlihatkan cinta-kasih, sepenuh hati dan tidak terbatas, engkau telah mendapatkan banyak jasa. Berusahalah, dan dalam waktu singkat, engkau akan terbebas dari kekotoran.’

Ratap tangis suku Malla dari Kusinara:

‘Dan sekarang, Ānanda, pergilah ke Kusinārā dan umumkan kepada para Malla dari Kusinārā: “Malam ini, Vāssettha, pada jaga terakhir, Tathāgata akan mencapai Nibbāna akhir. Datangilah Beliau, Vāsettha, dekatilah, agar kalian tidak menyesal kelak dengan mengatakan: ‘Sang Tathāgata meninggal dunia di wilayah kita, dan kita tidak memanfaatkan kesempatan untuk menemui-Nya untuk yang terakhir kalinya!’”’ ‘Baiklah, Bhagavā,’ jawab Ānanda dan, membawa jubah dan mangkuknya, ia pergi disertai seorang bhikkhu menuju Kusinārā.’ Saat itu, para Malla dari Kusinārā sedang berkumpul di aula pertemuan mereka untuk suatu urusan. Dan Ānanda mendatangi mereka dan menyampaikan kata-kata Sang Bhagavā. Dan ketika mereka mendengar kata-kata Ānanda, para Malla bersama putra-putra, menantu, dan istri mereka diserang kesedihan dan dukacita, batin mereka dikuasai oleh kesedihan sehingga mereka menangis dan menjambak rambut mereka .... Kemudian mereka semua pergi ke hutan-sāl di mana Yang Mulia Ānanda berada. Dan Ānanda berpikir: ‘Jika aku mengizinkan para Malla dari Kusinārā memberi penghormatan satu demi satu, malam akan berlalu sebelum mereka semuanya sempat memberikan penghormatan. Lebih baik aku mengizinkan mereka memberikan penghormatan satu keluarga demi satu keluarga, dengan mengatakan: “Bhagavā, seorang Malla ini bersama anak, istri, para pelayan, dan teman-temannya memberi hormat di kaki Bhagavā.”’ Dan demikianlah ia melakukannya, dan dengan demikian semua Malla dari Kusinārā telah memberikan penghormatan dalam jaga pertama malam itu.

Kata-kata terakhir Sang Buddha:

Dan Sang Bhagavā berkata kepada Ānanda: ‘Ānanda, engkau mungkin berpikir: “nasihat-nasihat Sang Guru telah tiada, sekarang kita tidak memiliki guru!” Jangan berpikiran seperti itu, Ānanda, karena apa yang telah Kuajarkan dan Kujelaskan kepada kalian sebagai Dhamma dan disiplin akan, saat Aku tiada, menjadi guru kalian.’ [...] Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: ‘Mungkin, para bhikkhu, beberapa bhikkhu memiliki keragu-raguan terhadap Buddha, Dhamma, Sangha atau terhadap Sang Jalan atau praktiknya. Tanyakanlah, bhikkhu! Jangan sesudahnya merasa menyesal, dengan berpikir: “Sang Guru di sana di depan kita, dan kita tidak menanyakannya secara langsung!”’ Mendengar kata-kata ini, para bhikkhu berdiam diri. Sang Bhagavā mengulangi kata-katanya untuk kedua dan ketiga kalinya. Dan para bhikkhu tetap diam. Kemudian Sang Bhagavā berkata: ‘Mungkin, para bhikkhu, kalian tidak bertanya karena hormat kepada Sang Guru. Kalau begitu, para bhikkhu, silakan satu orang menyampaikannya kepada yang lain.’ Tetapi para bhikkhu tetap berdiam diri. Dan Yang Mulia Ānanda berkata: ‘Sungguh indah, Bhagavā, sungguh menakjubkan! Aku jelas melihat bahwa dalam perkumpulan ini tidak ada seorang pun bhikkhu yang memiliki keragu-raguan ....’ ‘Engkau, Ānanda, mengucapkan dari keyakinan. Tetapi Tathāgata mengetahui bahwa dalam perkumpulan ini tidak ada seorang pun bhikkhu yang memiliki keragu-raguan terhadap Buddha, Dhamma, atau Sangha, atau terhadap Sang Jalan atau praktiknya. Ānanda, yang paling rendah di antara lima ratus bhikkhu ini adalah seorang Pemenang-Arus, tidak dapat lagi jatuh ke alam sengsara, pasti mencapai Nibbāna.’ Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: ‘Sekarang, para bhikkhu, Aku nyatakan kepada kalian: Segala sesuatu yang berkondisi pasti mengalami kerusakan – berusahalah dengan tekun.’ Ini adalah kata-kata terakhir Sang Tathāgata.

Sang Buddha meninggal dunia:

Kemudian Sang Bhagavā memasuki jhāna pertama. Dan meninggalkan jhāna itu, Beliau memasuki jhāna kedua, ketiga, keempat. Kemudian meninggalkan jhāna keempat, Beliau memasuki Alam Ruang Tanpa Batas, kemudian Alam Kesadaran Tanpa Batas, kemudian Alam Kekosongan, kemudian Alam Bukan Persepsi dan juga Bukan Bukan-Persepsi, dan kemudian meninggalkan alam itu, Beliau mencapai Lenyapnya Perasaan dan Persepsi. Kemudian Yang Mulia Ānanda berkata kepada Yang Mulia Anuruddha: ‘Yang Mulia Anuruddha, Sang Bhagavā telah meninggal dunia.’ ‘Belum, sahabat Ānanda, Sang Bhagavā belum meninggal dunia, Beliau mencapai Lenyapnya Perasaan dan Persepsi.’ Kemudian Sang Bhagavā, meninggalkan pencapaian Lenyapnya Perasaan dan Persepsi, memasuki ke dalam Alam Bukan Persepsi dan juga bukan Bukan-Persepsi, dari sana Beliau memasuki Alam Kekosongan, Alam Kesadaran Tanpa Batas, Alam Ruang Tanpa Batas. Dari Alam Ruang Tanpa Batas, Beliau memasuki jhāna keempat, dari sana masuk ke jhāna ketiga, jhāna kedua dan jhāna pertama. Meninggalkan jhāna pertama, Beliau memasuki jhāna kedua, jhāna ketiga, jhāna keempat. Dan, akhirnya, meninggalkan jhāna keempat, Sang Bhagavā akhirnya wafat. Dan saat Sang Bhagavā wafat, terjadi gempa dahsyat, menakutkan dan menyebabkan merinding, disertai gemuruh halilintar.

Demikianlah akhirnya Sang Buddha yang sempurna dalam perilaku dan pengetahuan meninggalkan kita semua lebih dari 2500 tahun yang lalu.... Selamat hari Waisak 2556 BE. Semoga semua makhluk mencapai pencerahan mengikuti teladan sempurna Sang Guru. Semoga semua makhluk berbahagia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun