Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Waisak: Tiga Peristiwa Biografis Sang Buddha dalam Tipitaka Pali

5 Mei 2012   05:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:40 1262 0
Suatu hari pada saat istirahat siang, pertapa Asita melihat bahwa tiga puluh dewa telah berkumpul. Dipenuhi suka cita sambil memuji-muji Indra [Sakka, pemimpin para dewa], dengan pakaian putih cemerlang mereka melambai-lambaikan jubah dan bendera mereka dengan amat gembira.
Melihat semua kegembiraan ini, dengan penuh hormat Asita bertanya kepada para dewa tentang hal yang sedang mereka rayakan. "Mengapa engkau semua amat bahagia dan penuh suka cita? Untuk apa semua lambaian dan kibaran bendera-bendera ini?
Belum pernah kulihat kegembiraan seperti ini, bahkan tidak juga ketika para dewa memenangkan pertempuran melawan para asura. Apa yang mungkin mereka lihat sekarang? Pasti ada sesuatu yang luar biasa yang menyebabkan segala suka cita ini.
Mereka menyanyi dan bersorak-sorai, memainkan musik, menari-nari, bertepuk dan melambai-lambai — beritahukanlah mengapa, hai semua makhluk dari puncak Gunung Meru! Jawablah pertanyaanku, agar pikiranku tenang!" "Di suatu desa bernama Lumbini, di negeri Sakya," jawab para dewa, "seorang bodhisatta telah dilahirkan! Seorang makhluk yang akan menjadi Buddha telah dilahirkan, makhluk agung tanpa banding, mutiara berharga bagi kesejahteraan dan manfaat dunia umat manusia. Itulah sebabnya kami amat gembira, amat bergairah, amat senang. Dari semua makhluk, inilah yang sempurna, manusia ini adalah yang teratas, yang tertinggi, pahlawan para makhluk! Inilah manusia yang, dari hutan para Guru, akan memutar Roda ajaran — auman singa, Raja para Binatang!" Ketika mendengar berita ini, Asita meninggalkan surga Tusita dan langsung menuju istana Suddhodana, Raja Sakya. Di sana, sesudah duduk, dia berkata kepada rakyat Sakya: "Di manakah Putra Mahkota? Saya ingin melihatnya." Maka mereka membawa pertapa Asita, yang dijuluki Yang Tak Melekat, dan menunjukkan Pangeran yang baru lahir. Pangeran itu bersinar, berkilau dan elok rupawan. Indah bagaikan melihat emas cair di tangan pengrajin ulung ketika dia mengeluarkannya dari perapian. Melihat Pangeran itu bagaikan melihat terang — terangnya nyala api; terangnya konstelasi bintang yang bergerak di langit malam; terangnya dan bersihnya matahari musim gugur yang bersinar pada hari tak berawan. Pemandangan itu membuat sang pertapa dipenuhi suka cita dan dia merasakan kegembiraan yang luar biasa. Di langit, makhluk-makhluk yang tak terlihat memegangi payung yang dari pusatnya terbentang seribu jeruji. Dewa-dewa lain melambaikan kipas dari ekor yak yang bertangkai emas, dan dewa-dewa ini juga tak tampak. Si pertapa berambut panjang, "Kemegahan yang gelap," demikianlah dia dinamakan, memandangi bayi yang terbaring di kain oranye, yang bersinar bagaikan mata uang emas, di bawah pelindung putih yang dibentangkan di atasnya. Dengan kegembiran yang besar, dia menggendong bayi tersebut. Sekarang singa Sakya berada di dalam gendongan lelaki yang telah menunggunya, manusia yang dapat mengenali semua tanda di tubuhnya — manusia yang dengan amat gembira kemudian mengumandangkan suaranya demikian: "Tidak ada sesuatu pun yang dapat dibandingkan dengan manusia ini; inilah yang tertinggi, inilah manusia yang sempurna!" Pada saat itu pertapa itu ingat bahwa dia akan mati segera — dan dia merasa amat sedih sehingga dia mulai menangis. Orang-orang Sakya bertanya mengapa dia menangis: "Apakah Pangeran berada dalam bahaya?" tanya mereka. Untuk menenangkan mereka dari kecemasan, pertapa itu menjelaskan kepada mereka mengapa dia merasa sedih. "Tidak," katanya, "tidak akan ada bahaya maupun ancaman bagi kehidupan Pangeran, sejauh yang dapat saya lihat. Sebenarnya, baginya tidak akan ada rintangan apa pun sama sekali. Tidak mungkin ada; Dia bukannya makhluk biasa. [Dengarkan dengan cermat:] Pangeran ini akan datang untuk terpenuhinya Pencerahan Sempurna; pangeran dengan pandangan yang sangat murni ini akan mulai memutar roda Kebenaran karena welas asihnya bagi kesejahteraan banyak makhluk. Kehidupan religius akan terbabarkan sepenuhnya. Tetapi bagiku, terbersit sedikit kesedihan dan penderitaan di sini. Karena saya tidak akan hidup lama lagi, dan semasa hidup manusia ini saya akan mati. Jadi saya tidak akan dapat melihat manusia dengan kekuatan yang tak tertandingi ini mengajarkan hal-hal sebagaimana adanya. Itulah satu- satunya alasan saya merasa sedih. Orang-orang Sakya sangat terharu mendengar apa yang dikatakannya, dan dia meninggalkan mereka, keluar dari ruangan-ruangan di dalam istana dan mulai menjalankan praktek kehidupan yang luhur dan bermoral. Tetapi ketika sedang berjalan keluar, dia mulai berpikir tentang kemenakannya, Nalaka. Maka dengan penuh kasih sayang, pertapa Asita berhenti untuk memberitahu tentang manusia dengan kekuatan yang tak ada bandingnya ini serta ajarannya. Dia berkata kepada kemenakannya, "Suatu hari kamu akan mendengar seseorang berbicara tentang 'Buddha'. Kamu akan mendengar tentang orang yang telah mencapai pencerahan sempurna karena mengikuti jalan yang benar. Jika kamu mendengar ini, pergi dan carilah semua hal tentang ajarannya — pergi dan hiduplah dengan Guru ini, dan ikuti praktek-praktek kehidupan suci." Maka Nalaka, karena jasa-jasa perbuatan yang telah dia kumpulkan selama bertahun-tahun lewat tindakan yang baik dan bermanfaat, selalu waspada dan tenang, selalu menjaga keseimbangan inderanya, menanti-nanti munculnya pahlawan penakluk ini. Pada saatnya berita itu benar-benar datang: Sang Buddha mulai memutar roda ajaran. Mengingat nasehat Asita, Nalaka pun pergi untuk menemui pertapa agung ini. Setelah bertemu, dia bertanya kepada manusia yang memiliki kebijaksanaan itu tentang kebijaksanaan tertinggi.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun