Namaku Sisilia Febia Lestari, siswi kelas XI SMKS Bhakti Luhur Malang. Pagi itu, matahari 17 Agustus menyinari halaman sekolah dengan sinar keemasan. Angin berhembus pelan, seolah ingin ikut menyaksikan bagaimana kami—anak-anak bangsa—menghormati Sang Saka Merah Putih.
Lapangan sekolah dipenuhi langkah yang seragam. Barisan Paskibra berdiri tegak, wajah mereka serius, sorot mata tajam menatap bendera. Saat lagu kebangsaan mengalun, getarannya menyusup ke dalam dadaku. Aku merinding.
“Lihat, Sis,” bisik Rina, sahabatku di sebelah. “Mereka keren sekali, ya. Tegap dan penuh wibawa.”
Aku tersenyum sambil mengangguk. “Iya, Rin. Suatu hari nanti, aku juga ingin punya disiplin seperti mereka.”
Selesai upacara, suasana berubah riang. Sorak tawa pecah ketika kami mengikuti lomba HUT RI—balap karung, tarik tambang, hingga futsal yang penuh semangat. Lapangan sekolah yang tadi khidmat kini menjadi panggung keceriaan.
“Ayo, Sisilia! Lari lebih cepat!” teriak teman-teman saat aku ikut lomba balap karung. Nafasku tersengal, tapi aku terus melompat dengan semangat. Saat akhirnya aku terjatuh di garis akhir, semua tertawa lepas. Keringat bercampur bahagia, seolah dunia ini milik kami.
Siang menjelang sore, aku bersama teman-teman tampil membawakan kesenian tradisional. Denting gamelan berpadu dengan gerakan tari, menghadirkan wajah budaya Indonesia yang anggun. Saat tepuk tangan membahana di aula, seorang guru tersenyum kepadaku.
“Bagus sekali, Sisilia. Kamu menari dengan hati,” kata beliau sambil menepuk pundakku.
Aku menunduk malu, namun senyumku tak bisa disembunyikan. “Terima kasih, Bu. Itu semua berkat latihan bersama teman-teman.”
Ketika malam tiba, aku mengikuti Mabit. Suasananya hening, hanya cahaya lampu temaram yang menemani. Seusai kajian, aku berbicara dengan salah satu kakak pembina.
“Kak, kenapa kita harus belajar disiplin bahkan di malam hari?” tanyaku polos.
Pembina itu tersenyum. “Karena kedisiplinan tidak hanya dilakukan di depan orang lain. Disiplin sejati lahir dari hati, meski tak ada yang melihat.”
Jawaban itu menancap dalam di benakku.
Esok paginya, aroma nasi hangat dan sayur segar menyambut kami. Sekolah memberikan makan bergizi gratis.
“Wah, Sis, lauknya enak sekali!” kata Rina sambil tertawa kecil.
Aku ikut terkekeh. “Iya, Rin. Kalau setiap hari begini, pasti tambah semangat belajar.”