Mohon tunggu...
Mr WinG
Mr WinG Mohon Tunggu... guru

bersepeda

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah dan Rasa Jejak Langkah di Way Kambas

11 Agustus 2025   07:56 Diperbarui: 11 Agustus 2025   07:56 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di bawah kanopi hijau Taman Nasional Way Kambas, napas para pelari menjadi simfoni yang berpadu dengan suara alam. Udara sejuk menyentuh kulit, memompa semangat yang membaur dengan aroma dedaunan basah. Setiap langkah kaki yang menyentuh tanah adalah sebuah cerita yang akan dikenang. Di antara ribuan pelari itu, terukir kisah-kisah baru yang penuh makna.

Didik Suprayogi, seorang peserta dari Lampung Timur, merasa paling berkesan saat ia bertemu "teman-teman goweser yang jadi runner." Baginya, kebersamaan itu adalah harta karun yang tak ternilai. Namun, ia menyayangkan minimnya doorprize, sebuah titik kecil yang bagai kerikil di sepatu. Kontribusinya adalah meningkatkan kesadaran di media sosial, sebuah tetesan air yang dapat menjadi gelombang. Ia memiliki pandangan mendalam, bahwa kontribusi terbaik bagi hutan adalah tanpa kehadiran manusia, sebuah kalimat yang menusuk kalbu. Ia memberikan skor 5.

SYAWA FITRIA RAHAYU, juga dari Lampung Timur, terhanyut dalam suasana. Baginya, berlari di hutan yang asri dan sejuk adalah momen paling berkesan. Namun, ia berharap waktu start tidak terlambat lagi, sebuah keinginan sederhana yang bergaung di benak banyak peserta. Kontribusinya adalah meningkatkan kesadaran di media sosial, bagai sebuah lentera kecil yang menerangi banyak orang. Ia belajar bahwa konservasi gajah bukan hanya soal menyelamatkan hewan, melainkan menjaga keseimbangan ekosistem, sebuah pelajaran yang mengubah pandangannya. Skor kepuasannya pun sempurna, 5.

Dwi Kartika dari Lampung Timur merasa aksi lari ini menginspirasi peserta dan masyarakat, sebuah bibit kebaikan yang ia tanam. Ia menyumbangkan kontribusi dengan mendukung produk ramah lingkungan dari UMKM lokal. Ia memetik pemahaman baru, bahwa melindungi gajah membutuhkan dukungan masyarakat yang kuat, sebuah pondasi yang kokoh. Skor kepuasannya adalah 5, bukti dari pengalaman yang memuaskan.

Sementara itu, Muhammad Khoirudin dari Lampung Timur menilai Elefun Run sebagai event pertama di Lampung yang memakai lintasan semi trail run, sebuah inovasi yang menyegarkan. Namun, suaranya adalah gema dari kekecewaan. Baginya, acara ini bagai hidangan yang kurang bumbu: racepack minim, BIB tipis, manajemen rute kacau, dan refreshment hanya pisang 1, nanas sepotong, sebuah rasa yang hambar di tengah dahaga. Ia memberikan saran perbaikan yang tajam, seperti pisau yang mengukir harapan. Ia merasa tidak fokus pada pemaparan materi tentang gajah, sehingga tidak mendapat poin pentingnya. Skor kepuasannya pun jatuh ke angka 3.

Terlepas dari masukan yang beraneka ragam, Elefun Run 2025 telah melahirkan seribu suara dan seribu makna. Di tengah perbedaan rasa dan pengalaman, satu hal yang pasti: setiap langkah yang terukir di tanah Way Kambas adalah langkah menuju masa depan yang lebih baik untuk gajah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun