Husen duduk di teras rumah kayunya yang mulai lapuk dimakan usia. Desir angin sore berembus pelan, membawa aroma tanah basah yang menyegarkan dan cicit riang burung-burung gereja yang hendak pulang ke sarang. Di tangannya, secangkir teh hangat mengepul, uapnya lembut menerpa pipinya, menemani sisa umur yang semakin senyap. Rasa pahit bercampur manis teh perlahan menyebar di lidahnya.
Dulu, Husen seorang pegawai negeri yang dihormati. Kini, ia lebih banyak diam, merenung, dan mengingat.
"Selagi masih bisa makan enak, makanlah," katanya suatu sore pada istrinya, Yani. "Selagi masih layak, pakailah baju yang kita suka. Kita tak tahu sampai kapan bisa menikmatinya."
Yani mengangguk sambil tersenyum. Ia tahu suaminya mulai menerima bahwa hidup telah bergeser: dari mengejar, menjadi melepaskan.
Anak-anak mereka sudah dewasa, bekerja dan tinggal di kota. Mereka jarang pulang. Kadang hanya video call singkat atau kiriman uang bulanan. Tapi Husen tak pernah berharap banyak.
"Dulu kita mati-matian membesarkan mereka," gumamnya suatu malam. "Sekarang waktunya kita belajar melepas. Anak, harta, bahkan pasangan pun suatu saat akan kembali pada-Nya."
Setiap pagi, Husen menyapu halaman. Tak sekadar membersihkan dedaunan, tapi juga merenung. "Satu hari berlalu, satu hari berkurang dari umurku," batinnya. Ia mulai terbiasa menyapa tetangga, bersedekah kecil-kecilan, atau sekadar membagikan senyum kepada siapa pun yang lewat.
Ia tahu, hidup sangat singkat. "Dalam sekejap, kita mulai tua... dan pasti masuk pusara," katanya pelan saat berbincang dengan sahabat lamanya, Pak Yus.
"Jangan sering melihat ke atas," tambahnya, "nanti serba merasa kurang. Tapi tengoklah ke bawah, dan kau akan tahu betapa cukupnya hidup ini."
Husen mulai sering ke masjid. Bukan hanya untuk berdoa, tapi juga memperbanyak amal. Ia sadar, tak bisa menggantungkan pahala pada doa anak yang belum tentu sempat mendoakan orang tua. Ia berusaha menanam kebaikan selagi sempat.