Ketika Jakarta menyalakan gemerlap lampu di cakrawala malam, kota ini menjelma primadona yang tak pernah sepi dari cerita dan harapan, layaknya seorang ibu yang senantiasa membawa pelita.
Sejarah Jakarta adalah kisah panjang tentang perubahan dan pertemuan berbagai budaya. Dahulu dikenal dengan nama Sunda Kelapa, wilayah ini merupakan pelabuhan penting bagi Kerajaan Sunda. Dari pelabuhan itu, berbagai rempah dan hasil bumi diperdagangkan ke berbagai penjuru dunia.
Pada tahun 1527, pasukan Fatahillah berhasil merebut Sunda Kelapa dari Portugis dan menamakannya Jayakarta, yang berarti “kemenangan yang sempurna”. Nama itu menggambarkan harapan akan kejayaan baru di pesisir utara Jawa. Namun, ketika Belanda mulai berkuasa, Jayakarta berubah menjadi Batavia, kota kolonial yang dirancang ala Eropa, lengkap dengan benteng, kanal, dan gedung-gedung pemerintahan.
Batavia kemudian berkembang pesat sebagai pusat perdagangan Asia Tenggara, meski juga menyimpan luka sejarah. Kerja paksa, peperangan, dan diskriminasi sosial. Setelah Indonesia merdeka, Presiden Soekarno menegaskan identitas nasional dengan mengganti nama Batavia menjadi Jakarta pada tahun 1949. Sejak saat itu, Jakarta tumbuh menjadi ibu kota republik dan pusat pemerintahan, ekonomi, serta kebudayaan.
Primadona kota Jakarta, tidak hanya menjadi magnet bagi para pedagang sejak masa kolonial, tetapi juga menarik jutaan orang dari seluruh Indonesia hingga kini. Mereka datang dengan harapan dan cita-cita, ingin meraih kehidupan yang lebih baik di kota yang selalu hidup, kota yang bagaikan panggung besar bagi siapa saja yang berani mencoba.
Namun, di balik kisah kejayaan dan luka sejarah Jakarta, ada cahaya lain yang lebih abadi. Bukan berasal dari gemerlap kota, melainkan dari kasih seorang ibu: primadona yang tak butuh sorotan untuk tetap bersinar.
Engkau adalah gadis berani yang pernah datang ke Jakarta, meninggalkan kampung halaman dengan hati penuh tekad. Engkau rela mengorbankan mimpi, menanggalkan cita-cita demi sesuatu yang lebih besar: sebuah kehidupan untuk anakmu. Ibu, engkau adalah primadona yang tidak pernah padam. Engkau tidak membutuhkan panggung megah untuk disebut istimewa. Kesederhanaanmu justru menjadikanmu luar biasa. Dari doa-doamu yang lirih, aku belajar tentang arti keberanian. Dari keteguhanmu, aku belajar bertahan. Dari cintamu, aku tahu ada kasih yang tidak pernah meminta balasan, kasih yang abadi sepanjang masa.
Dari keteguhanmu, aku belajar bertahan. Dari cintamu, aku mengerti arti kasih yang tidak pernah meminta balasan, kasih yang abadi sepanjang masa.
Dan di sanalah aku berdiri, menatap kehidupan yang terus berputar. Di balik gemerlap kota, aku menemukan bahwa pelajaran paling berharga bukan datang dari buku atau panggung megah, melainkan dari sosok sederhana yang setiap hari mengajarkanku arti perjuangan.