Korupsi di tanah air ini seperti bencana banjir yang ketika sadar, tahu-tahu Negara ini terasa menjadi miskin mendadak. Saya melihat di salah satu daerah di Jawa Tengah, pada saat terjadi bencana banjir beberapa waktu yang lalu. Sebagian masyarakat yang sekalipun memiliki tempat tinggal yang bagus, bahkan punya mobil juga, namun akibat banjir, mereka bahkan tidak dapat untuk sekedar makan mie instan. Karena dapur yang dimilikinya tidak memungkinkan walau hanya sekedar untuk mematangkan mie. Terasa mereka seperti mengalami kondisi ‘miskin’ seketika.
Itu dialami oleh orang-orang yang sewajarnya terbilang sebagai orang yang ‘punya’ di beberapa wilayah di Jawa Tengah yang terkena banjir, seperti di Kudus, Demak dan Pati beberapa waktu lalu. Terutama daerah yang sulit dijangkau oleh sukarelawan bencana.
Kondisi ‘seketika miskin’ juga dialami oleh bangsa ini, dengan diungkapnya berbagai kasus dugaan korupsi akhir-akhir ini. Menjadikan kita seakan tidak memiliki apa-apa lagi, karena semuanya ‘seperti’ telah dibeli oleh orang-orang korup yang tamak kekuasaan. Bahkan pimpinan daerahpun ternyata juga telah diperjual belikan melalui suap seperti itu.
Yang lebih menyedihkan lagi, para anggota dewan yang terhormat, ternyata juga tidak menafikan bahwa diri mereka juga dapat dibeli, oleh orang-orang yang mengendalikan uang. Tak peduli meski uang itu milik siapa.
Mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini contohnya, mengaku pernah menyetor uang sebanyak 200 ribu dolar AS ke Komisi VII DPR. Uang itu diberi Rudi melalui pelatih golfnya Deviardi untuk Tunjangan Hari Raya para anggota Komisi VII yang diminta Sutan Bathoegana.
Menanggapi hal itu, Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Uchok Sky Khadafi meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera memanggil anggota DPR yang diduga mendapat THR dari mantan Ketua SKK Migas, Rudi Rubiandini. Menurutnya, pemanggilan itu harus dilakukan untuk menghentikan tradisi pemberian THR di kalangan Dewan. Bahkan, bila ditemukan bukti cukup, para anggota Dewan yang menerima THR dari Rudi juga harus dijadikan tersangka. (http://www.tribunnews.com/).
Terkait kasus dugaan korupsi yang dilakukan oleh anggota dewan itu,Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf di Jakarta mengatakan, berdasarkan hasil riset tipologi PPATK pada semester II 2012, sejak era reformasi 1999, anggota legislatif RI periode 2009-2014 paling tinggi terindikasi melakukan tindak pidana korupsi (tipikor), dan pencucian uang, yaitu sebesar 42,71 persen. (http://www.waspada.co.id/).
Jadi…… ? sedemikian parah seperti itukah? Naudzubillah. Lantas apakah revisi KUHAP, dapat diduga sebagai bagian dari langkah antisipasi pengamanan oleh pihak-pihak yang merasa terancam, agar tangan KPK tidak sampai menyentuh kulit-kulit mereka yang halus, dan kursi-kursi mereka yang empuk?
Terkait persoalan KUHAP, situs voaindonesia.com menukil pernyataan Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho, bahwa pembahasan revisi Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) telah dilakukan secara diam-diam oleh DPR. Dari pembahasan tersebut, terdapat 9 pasal revisi yang melemahkan kewenangan KPK, padahal yang seharusnya adalah justru memperkuat dan bukan malah melemahkan.
Salah satu kewenangan KPK yang bakal digerogoti lewat pengesahan dua undang-undang itu adalah tidak adanya lagi proses penyidikan dan penuntutan karena bisa dihentikan oleh hakim komisaris. Menurutnya draft Rancangan Undang-undang KUHAP memberi kewenangan luar biasa bagi hakim komisaris (Hakim Pemeriksa Pendahuluan) yang dapat memutuskan dilanjutkan atau tidaknya penuntutan, penyitaan dan penyadapan sebuah perkara pidana secara final.
Selain itu, RUU KUHAP ini terkesan meniadakan KPK dan pengadilan khusus tindak pidana korupsi. Hal itu terlihat dari tidak adanya penyebutan lembaga di luar kejaksaan, kepolisian dan pengadilan (negeri, tinggi, dan Mahkamah Agung). Dalam revisi itu juga menyebutkan putusan bebas tidak dapat di-kasasi ke Mahkamah Agung. Sehingga, revisi RUU tersebut menguntungkan koruptor, dan tentu saja semua itu sangat melemahkan KPK. Padahal, kita tahu pelemahan KPK sangat berbahaya dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Maka dari itu, upaya sistematis melemahkan KPK, harus ditentang. (http://www.voaindonesia.com/)
Hal senada juga dinyatakan oleh Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto mengatakan, adanya manuver politik dari pihak-pihak tertentu yang berupaya melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui Revisi Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, harus dilawan.
"KPK tidak boleh dilemahkan. Justru kita harus dukung dan perkuat," kata Prabowo, melalui keterangan pers yang diterima Tempo, Sabtu, 22 Februari 2014. "Korupsi sudah menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa. KPK jangan dilemahkan," Prabowomenambahkan.
Eks Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat ini mengajak seluruh rakyat melawan upaya pelemahan komisi antirasuah itu. Prabowo juga menyatakan akan menggalang dukungan para praktisi hukum senior untuk turut serta berjuang memperkuat institusi KPK. (http://www.tempo.co/).
Sementara ituWakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas menuding pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat berkongkalikong menggembosi KPK dengan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. "Jika presiden dan DPR jujur, sejak awal tidak main di 'lorong gelap,' ujarnya melalui pesan singkat, Sabtu, 22 Februari 2014. (baca: Bambang Widjojanto: Revisi KUHAP Bisa Habisi KPK) http://www.tempo.co/.
Meski demikian, pembelaan dan jawaban datang dariWakil Ketua Komisi III DPR Azis Syamsuddin, ia menyarankan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mau duduk bersama berbicara dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) jika mendapati ada yang tidak sejalan dengan revisi KUHAP. Bukan dengan cara berteriak dan mengadu kepada media saja. Karena menurutnya, revisi KUHAP merupakan usulan dari pemerintah sehingga tidak tepat bila protes maupun kritikan disampaikan kepada Komisi III.
"Kalau ada pihak yang merasa ada hal yang melemahkan, mungkin jalan pertama bisa konsultasi dengan Menkum HAM karena ini usulan pemerintah, silakan berkoordinasi di sana," kata Azis di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Senin (10/2/2014). (Sindonews.com).
Menanggapi bergulirnya wacana yang semakin menjadi liar, dan cenderung membentuk persepsi bahwa revisi KUHAP-KUHP adalah pesanan dari para sponsor korup, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Amir Syamsuddin mengatakan, dirinya akan mengundurkan diri, segera bila revisi Kitab Undang - Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana terbukti disponsori oleh koruptor.
"Yang sangat melukai perasaan itu adalah inipembahasan KUHP dan KUHAP ini katanya karena ada sponsor koruptor, disponsori oleh koruptor. Waduh kalau seandainya itu benar ya, mereka punya data itu, tidak usah melalui proses hukum, siapa saja, saya wajib meletakkan jabatan hari ini juga, tidak nunggu besok lagi saya," katanya di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis. (ANTARA News).
Agan……, kita sedih melihat konstelasi nasional yang selalu gaduh, makin hangat bahkan cenderung memanas setiap kali menjelang pemilu. Dalam kondisi seperti ini sebaiknya kita perlu tetap 'calm down' and ‘cool’ ajalah. Jangan mudah terprovokasi oleh keadaan yang terkadang tidak ketemu mana salah, mana benarnya. Dan kita tunggu kebenaran itu datang.
Sehingga ada benarnya apa kata pak Sutarman terkait posisi Polri, bahwa Polri hanya dapat berharap pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana oleh Dewan Perwakilan Rakyat hendaknya tidak menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Untuk itu, DPR diharapkan mampu menampung seluruh aspirasi penegak hukum.
"Ke depan KUHAP begitu diberlakukan betul-betul bisa mengakomodasi seluruh tindakan aparatur penegak hukum," kata Kapolri Jenderal Pol Sutarman di Kompleks Parlemen, Selasa (25/2/2014).
Dalam kasus diatas, Polri tidak memiliki wewenang untuk menentukan apakah revisi KUHAP perlu dilakukan atau tidak, katanya. (KOMPAS.com).
Kita juga jangan berkomentar yang membuat persoalan semakin meruncing dan menempatkan orang-orang pada posisi saling tuduh dan saling curiga yang membabi buta.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI