Mohon tunggu...
Monika Yulando Putri
Monika Yulando Putri Mohon Tunggu... Akuntan - Analis. Blogger. Traveler

Pecinta buku, pengamat media sosial dan penghobi jalan-jalan. Bisa juga dikunjungi di www.monilando.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mata Merah Ayah

26 April 2012   15:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:04 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setengah berlari aku menyambut kedatangan Ayah saat terdengar derap langkah kakinya memasuki rumah. Hari ini hari pembagian rapor semester, Ibu yang tadi pagi pergi ke sekolah mewakili Ayah yang masuk bekerja. Ayah berhenti sejenak dan menatapku, ia tersenyum sekilas sambil mengelus kepalaku. Aku terdiam sejenak, tak seperti biasanya Ayah bersikap demikian. Biasanya demi mendengar anak sulungnya meraih juara satu, ia memberi pelukan hangat sambil menepuk-nepuk punggungku dengan keras. “Ini baru anak Ayah,” begitu selalu katanya. Ia lalu akan mengajakku pergi keliling kota dan sepanjang perjalanan kami akan berbicara banyak hal. Membicarakan impianku melanjutkan sekolah di ibukota provinsi tahun depan tentu lebih mengasyikkan sambil memandang birunya langit daripada memandang eternit yang sudah mulai lapuk di rumah petak kami. Sepeda motor butut kesayangan Ayah akan berbelok ke sebuah toko kecil di tengah kota, Ayah akan membebaskanku membeli apa saja di sana.

Mungkin Ayah lelah, tepisku menghalau kekecewaan. Sebagai pegawai rendahan di sebuah pabrik konveksi ia bekerja sepuluh jam sehari dengan sistem shift, pulang dari kantor ia beristirahat sejenak sembari menonton acara televisi kesayangannya lalu selepas maghrib ia menarik motornya keliling kota, mengojek hingga pukul sepuluh malam. Terkadang aku menunggunya pulang untuk sekadar memijit punggungnya sambil bercerita apa saja meski Ayah jarang berkomentar.

---

Siang yang cerah, libur semester baru berjalan tiga hari dan aku mencetak tiga gol hari ini. Dengan ringan kulangkahkan kaki menuju rumah, lezatnya sayur lodeh buatan Ibu terbayang di depan mata. Loh loh, aku tak salah lihat bukan, Ayah duduk bersandar di kursi beranda, pandangannya kosong. Bukankah beliau seharusnya sedang bekerja saat ini, aku bergegas menghampirinya.

“Ayah tak masuk kerja? Sakit yah?” tanganku memegang pundaknya pelan

Ayah menggeleng.

“Lalu?”

Ayah menggeleng lagi. Pasti ada yang tak beres. Aku mencari Ibu ke seluruh sudut rumah dan tak menemukannya. Ibuku hanya seorang ibu rumah tangga yang terkadang menerima jasa menjahit. Hampir tak pernah ia meninggalkan rumah kecuali untuk pergi ke pasar, mengikuti arisan atau pengajian.

“Amiiiiiiiiiir!!!”

Pekikan keras membahana, langkah tak sabar menuju arah kami. Lima orang laki-laki yang tak ku kenal memasuki rumah dengan kasar. Salah seorang dari mereka mencengkeram kerah kaus Ayah sambil memojokkan tubuh kurusnya ke tembok. Mataku melotot, apa-apaan ini. Aku mendorong tubuh laki-laki itu dengan keras, ia jatuh terjerembab ke tanah. Dua orang dari mereka dengan sigap memegangi tubuhku. Ayah menarikku dan memasang sikap bertahan. Belum pernah aku melihat wajahnya segarang ini.

“Kau punya waktu dua minggu Amir untuk mengembalikan uang kami. Jika tidak, lihat saja apa yang bisa kami lakukan kepadamu dan keluargamu terutama putra semata wayangmu ini,”

Kelima laki-laki itu lalu pergi setelah puas memaki-maki dan meludahi Ayah.

---

Ayah sudah beberapa hari tak pulang rumah. Aku mencarinya kemana-mana, ke pabrik, ke pangkalan ojek tempat Ayah biasa mangkal, ke rumah teman-temannya dan hasilnya nihil. Ibu menangis tak henti di atas sajadah, tak jarang ia tertidur di atasnya.

Pintu depan digedor dengan kasar.

“Hasan buka pintu Hasan!,”

Brak. Bunyi berdebam benda jatuh di atas lantai.

“Ayah,” seruku tertahan

Aku mendudukkan tubuh kurusnya. Matanya merah, amat merah, tubuhnya berbau tak sedap dan hey, dengan kuat aku mencium aroma alkohol dari mulutnya.

“Ayahmu Paman temukan di pinggir sebuah warung. Ia teler lantaran mabuk dan asal kau tahu, Ayahmu baru saja berjudi sebelumnya,”

Informasi demi informasi mengalir cepat dari mulut Paman Agus, salah seorang tetangga kami. Tak mungkin, desisku tak percaya, Ibu menggeleng. Ayahku tak mungkin begitu, Ayahku yang mengajarkanku mengaji dan memukulku kalau aku malas sholat tak mungkin begitu.

Paman Agus mengangkat bahu tak peduli sebelum pamit pulang. Aku menunggu Ayah hingga terjaga. Pukul dua malam ketika Ayah terbangun dengan nafas yang memburu, aku mengangsurkan segelas air putih ke hadapannya.

“Minum dulu Ayah,”

Ayah memandangku dengan tatapan nanar, agaknya kesadarannya belum pulih benar.

“Ini Hasan Yah, Ayah di rumah sekarang, “

Ada jeda yang panjang sebelum Ayah berucap, “Maafkan Ayah Nak, sungguh maafkan Ayah,”

Tiba-tiba Ayah meraung seperti anak kecil. Refleks aku memeluknya.

“Sudah pagi Yah, Ayah akan membangunkan banyak orang. Tenang Ayah. Ada apa?”

Ayah menarik nafas panjang. Ia mulai bercerita tentang investasi yang dilakukannya atas saran seorang teman, investasi di sebuah usaha katering di kota, ia menghabiskan nyaris seluruh tabungannya dan juga menghimpun uang dari teman-temannya. Investasi yang pada mulanya lancar dan kemudian tersendat-sendat sebelum berhenti sama sekali. Uangnya dibawa lari. Ayah dituntut mengembalikan uang teman-temannya dan dengan kalut ia menggelapkan uang pabrik. Pemilik pabrik mengetahuinya dan mengancam memecat Ayah hingga larilah Ayah ke meja judi. Berakhir malam ini.

“Ayah untuk apa melakukan semua itu Ayah? Bukankah itu juga bukan kesalahan Ayah?”

“Ayah tak sanggup Nak sungguh, orang-orang itu mengancam akan mencelakanmu Nak, putraku satu-satunya yang lahir setelah sepuluh tahun menikah, Ayah sungguh tak sanggup Nak jika harus melihatmu terluka,”

Pipiku mulai terasa hangat.

“Uang hasil investasi itu nanti untuk biayamu sekolah di ibukota provinsi Nak, kau anak yang cerdas, mana mungkin aku membiarkanmu berakhir menjadi pegawai pabrik sepertiku,”

Aku memeluk tubuh Ayah yang berguncang.

“Nasihatku Nak, tolong kau masih mau mendengar nasihatku, seberat apapun kehidupanmu nanti Nak, jangan pernah menyelesaikan masalahmu dengan hal yang haram Nak karena ia sungguh tak akan membantumu menyelesaikan masalahmu, cukup aku yang bodoh melakukannya, aku sungguh beruntung masih hidup, tadi aku bermimpi tak bisa melihatmu lagi” Suara Ayah terdengar pilu.

Aku mengangguk pelan.

Ayah mengambil air wudhu dan mulai menghadapkan tubuhnya ke kiblat. Tangisannya yang tertahan pelan terdengar. Suara tangisnya kemudian berganti dengan suara tilawah yang sangat ku kenal. Matanya memerah kembali, kali ini oleh air mata penyesalan. Ayah.

---

Tak ada lagi Ayah yang mengantarkanku berangkat sekolah menggunakan motor tua kesayangannya, tak ada lagi Ayah yang mencari tambahan penghasilan sebagai tukang ojek. Motor butut peninggalan kakek telah tergadai tunai. Ayah menemaniku berjalan kaki. Tiga belas kilometer setiap hari. Waktuku berbicang dengan Ayah lebih lama lagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun