DISUSUN OLEH:
MONICHA SEMBIRING, MICHELLE AURELIE, JESSICA IRAWAN, IVANE NAVA, GABRIELLA AGUSTINE
Perbedaan agama yang ada di Indonesia dapat menimbulkan dampak positif dan negatif. Seringkali kita mendengar berita tentang adanya perpecahan antar agama karena saling merasa paling baik. Agama seringkali menjadi menjadi isu yang sensitif di tengah masyarakat. Salah satu contohnya pada tahun 1998-2001 mengenai konflik Poso antara agama Islam dan Kristen.Â
Peristiwa tersebut mengakibatkan banyak korban berjatuhan dan kerusakan bangunan akibat terbakar (Subarkah, 2016). Hanya berawal dari masalah sepele saja, kedua pemimpin dari agama ini saling memprovokasi hingga berujung pada pertumpahan darah. Di sisi lain, kita dapat melihat perbedaan agama ini dengan kacamata yang positif. Banyak komunitas-komunitas religius yang saling tolong menolong terlepas dari perbedaan keyakinan. Salah satunya yang terjadi di Pondok Pesantren Darussalam. Walaupun konflik sering terjadi pada kedua kelompok agama ini, tetapi ketika pandemi COVID-19 ini merebak justru keduanya bisa bersatu untuk saling membantu.
Pondok Pesantren Darussalam di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur menjadi klaster COVID-19. Lebih dari 600 santri terkonfirmasi positif COVID-19 dan 6.000 santri dikarantina. Salah satu dukungan datang dari Gereja Katolik Santo Paulus Jajag Banyuwangi yang turut memberikan sumbangan kepada para santri di Pondok Pesantren Darussalam sebagai bentuk kepedulian. Romo Fadjar mengatakan bahwa penanganan COVID-19 merupakan tanggung jawab bersama sebagai satu bangsa, bukan hanya pemerintah saja. Ia juga turut mendoakan dan berpesan agar tidak ada pihak yang saling menyalahkan dalam penanganan COVID-19 di Pondok Pesantren Darussalam.Â
Romo Fadjar beserta sejumlah suster biarawati dan Dewan Pastoral Paroki, langsung menyambangi Pondok Pesantren Darussalam untuk memberikan bantuan berupa 50 kardus pembalut untuk 2.500 santri perempuan dan kebutuhan pokok untuk operasional dapur umum. Tidak hanya itu, terdapat juga bantuan tenaga dari 200 sukarelawan setiap harinya untuk bekerja di dapur umum di Lapangan Kaligesing.Â
Ada 14 tenda berukuran besar di Lapangan Kaligesing yang digunakan untuk kebutuhan logistik, dapur, penyiapan bahan makanan, pembuatan kotak makanan, hingga tenda untuk pengisian makanan. Salah satu sukarelawan bernama Yuliani yang sehari-hari sebagai ibu rumah tangga, turut membantu menyiapkan kotak makan di dapur umum dari pukul 06.00 sampai 12.00. Ia juga menyusun kotak dan mengantarkan ke tenda pengisian makanan. Sejak awal Yuliani ditawari oleh kepala BPD Karangdoro untuk menjadi sukarelawan, ia langsung mau membantu dan tidak mengharapkan imbalan apa pun.Â
Pelaksana Tugas Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Banyuwangi, Abdul Kadir, mengatakan bahwa ia menargetkan untuk menyediakan 18.000 porsi makanan setiap hari dengan rincian 6.000 porsi masing-masing untuk pagi, siang, dan malam. Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit juga dilibatkan untuk memastikan kesehatan makanan.Â
Dalam seporsi makanan diwajibkan ada nasi, sayur, lauk, buah, dan dipastikan tidak ada zat berbahaya seperti boraks dan formalin dalam makanan. Selain komunitas Gereja Katolik Santo Paulus Jajag Banyuwangi, pada tahun 2015 komunitas Gereja Katolik Paroki Hati Kudus Yesus juga pernah memberikan bantuan kepada jamaah yang hendak melaksanakan salat Idul Fitri di Masjid Agung Jami, Kota Malang.Â
Gereja Katolik Paroki Hati Kudus Yesus memperbolehkan jamaah menggunakan halaman Gereja untuk shalat Idul Fitri serta menunda kebaktian untuk memberikan kesempatan pada umat Muslim untuk beribadah, karena saat itu lebaran jatuh pada hari Minggu (Widianto, 2015).
Kelompok kami menyetujui aksi-aksi sosial di atas. Adanya COVID-19 ini menurut kami bisa dijadikan kesempatan untuk mempererat kesatuan antar umat beragama, bukan malah semakin memecah. Upaya untuk membantu orang yang memiliki agama dan kepercayaan yang berbeda seperti ini patut diberi sorotan lebih agar bisa diteladani. Semakin banyak dialog/interaksi antar umat beragama, akan semakin terwujud sikap saling memahami di antara mereka, sehingga interaksi baik seperti ini dapat terhitung sebagai strategi yang efektif untuk menciptakan keharmonisan antar umat beragama (Sari, 2020). Jika berita seperti ini kurang disorot, kesadaran individu untuk menghargai dan membantu umat beragama lain akan kurang dan selanjutnya bisa menimbulkan dampak-dampak negatif yang tidak diharapkan seperti perpecahan antar umat beragama di Poso.Â
Komunitas yang berkaitan dengan spiritualitas atau keagamaan tidak hanya sebatas pada upacara dan simbol agama saja. Mereka adalah relational community yakni komunitas yang terbentuk atas dasar hubungan interpersonal dan sense of community.Â
Psikolog komunitas merasa spiritualitas adalah sesuatu yang diekspresikan dalam persekutuan dengan orang lain, bukan hanya keyakinan atau praktik individu (Kloos et al., 2012). Maka dari itu, komunitas religius ini biasanya lebih berfokus pada tindakan dan penerapan terhadap pengalaman seperti pelayanan sosial atau membentuk keadilan sosial. Saling membantu dan mendukung antar komunitas religius adalah suatu bentuk menjaga komunitas agar tetap utuh dan dorongan manusia untuk membantu orang lain merupakan tindakan prososial. Tindakan prososial merupakan tindakan menolong, berbagi, berkorban demi orang lain  (Ashar et al., 2018).Â
Contoh dalam kasus ini komunitas religius yang mendukung komunitas lain adalah Komunitas Gereja Katolik Santo Paulus Jajag Banyuwangi yang mendukung dan menolong komunitas pondok pesantren Darussalam Banyuwangi. Bukan hanya mengandalkan pemerintah  saja, komunitas Gereja Katolik Santo Paulus Jajag memutuskan untuk ikut serta dalam memberikan bantuan sosial.Â
Mereka menyumbangkan sumber daya yang penting bagi masyarakat, terutama masyarakat yang membutuhkan dan menganjurkan keadilan sosial. Komunitas religius ini pun semakin dianggap penting mengingat dampaknya yang besar bagi masyarakat. Dari contoh-contoh ini dapat dilihat bahwa perbedaan agama tidak selalu berujung menjadi perpecahan, melainkan dapat saling tolong menolong.Â
Kasus ini membuktikan bahwa masih ada sikap toleransi dan saling menghargai antar umat beragama di Indonesia. Hanya saja memang tidak semua komunitas religius bisa menerapkannya. Beberapa komunitas religius meyakini perlunya mengekspresikan persekutuan ke orang lain, namun tidak ada tindakan nyata yang dalam pernyataan tersebut. Ajaran tertulis yang dianut oleh mereka seolah hanya tulisan, tanpa bisa memaknai. Konflik Poso misalnya, bukan pelayanan dan keadilan sosial yang ditunjukkan tetapi justru pertikaian antara dua agama yang terjadi.Â
Komunitas religius ini juga memenuhi setidaknya empat dari tujuh nilai dasar dalam psikologi komunitas. Mereka berusaha memperkuat dan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan individu, terutama 6000 anggota Pondok Pesantren Darussalam di Kabupaten Banyuwangi yang terinfeksi COVID-19 (individual and family wellness).Â
Selain itu, mereka juga memperkuat dan memelihara hubungan antar komunitas yang berada di Banyuwangi. Mereka mengakui dan menghormati keragaman komunitas agama yang ada. Meski berbeda agama, anggota Gereja Katolik Santo Paulus Jajag Banyuwangi tidak segan-segan memberi bantuan kepada anggota Pondok Pesantren Darussalam. Meski tidak dibayar dan tidak mendapat imbalan apapun, para sukarelawan ini tetap tulus membantu dan tidak mempermasalahkan perbedaan yang ada di antara mereka.Â
Dapat dilihat juga dari Gereja Paroki Hati Kudus Yesus yang memberikan tempat dan waktu kepada umat Muslim untuk melaksanakan salat Idul Fitri. Hal ini menunjukkan bahwa mereka respect for human diversity. Mereka juga mengalokasikan sumber daya yang ada kepada seluruh individu yang membutuhkan dengan adil. Meski tidak dijelaskan secara gamblang, tapi pernyataan bahwa disediakannya 6000 porsi setiap jam makan menunjukkan adanya keadilan yang merata (social justice).Â
Anggota Gereja Katolik Santo Paulus Jajag Banyuwangi juga berkolaborasi dengan Badan Pemerintah Desa (BPD) Karangdoro dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Banyuwangi serta Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit untuk menyediakan makanan yang bergizi dan terhindar dari zat berbahaya seperti boraks dan formalin. Hal ini sejalan dengan nilai collaboration and community strengths, dimana berbagai pihak memiliki keterlibatan yang berarti untuk saling menolong.Â
Tindakan yang dilakukan oleh Komunitas Gereja Katolik Santo Paulus Jajag Banyuwangi menunjukkan bahwa psikologi komunitas juga menyangkut banyak hubungan antara individu, komunitas, dan masyarakat. Sekalipun komunitas ini  berada dalam jenis  komunitas religius, tidak menghalangi Komunitas Gereja Katolik Santo Paulus Jajag Banyuwangi dalam memberikan bantuan kepada sesama.Â
Komunitas ini melakukan tindakan yang memberikan manfaat bagi banyak orang yakni membantu orang lain tanpa membedakan latar belakang, terlebih sasaran yang dituju oleh komunitas Gereja Katolik Santo Paulus Jajag Banyuwangi adalah Pondok Pesantren Darussalam. Sumber daya yang dibagikan oleh komunitas Gereja Katolik Santo Paulus Jajag Banyuwangi pun dibagikan adil dan merata kepada orang-orang yang dibutuhkan. Hal tersebut harus benar-benar disorot agar dapat diteladani dan dicontoh oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Dari pembahasan sebelumnya, dapat kita pelajari bahwa tidak selalu perbedaan agama menimbulkan konflik atau masalah. Hal ini dapat menjadi perhatian kita untuk dapat menyadari akan pentingnya saling toleransi dan menghargai untuk meminimalisir gesekan.Â
Tindakan sederhana yang dapat kita lakukan berupa, menghargai upacara keagamaan agama lain atau tidak membedakan seseorang saat agama yang diyakini/dianut berbeda dengan kita. Selain itu, antar komunitas juga harus menjalin relasi yang baik dengan komunitas lainnya agar ketika mengalami masalah kelompok lain dapat membantu. Peran komunitas tidak hanya sebagai sarana untuk berkumpul, tetapi lebih dari itu yaitu saling tolong menolong. Dalam kasus ini, walaupun kedua komunitas memiliki latar belakang yang berbeda tetapi hubungan antar komunitas tetap terjalin dengan baik.
 Selain itu, sebagai anggota dari komunitas juga harus memiliki sense of community agar komunitas dapat tetap utuh. Komunitas dengan identitas agama yang berbeda diharapkan menjadi sarana untuk saling membangun baik dengan sesama anggota maupun dengan antar komunitas. Dalam bermasyarakat, kita dapat mencontoh tindakan yang dilakukan oleh Gereja Katolik Santo Paulus kepada Pondok Pesantren Darussalam untuk saling tolong menolong dan menghargai. Hal ini dapat mengurangi dampak negatif dari adanya perbedaan agama, sehingga hubungan antar kelompok menjadi saling menguntungkan bukan saling menjatuhkan.Â
DAFTAR PUSTAKA
Ashar, P. M., Maria, C., & Victoriana, E. (2018). Studi Deskriptif mengenai Motivasi Prososial pada Relawan Komunitas Berbagi Nasi di Kota Bandung. Humanitas (Jurnal Psikologi), 1(3), 197. https://doi.org/10.28932/humanitas.v1i3.757
Kloos, B., Hill, J., Thomas, E., Wandersman, A., Elias, M. J., & Dalton, J. H. (2012). Community Psychology: Linking Individuals and Communities. Wadsworth Cengage Learning.
PUTRANTO, A. (2020). Gereja Katolik Ikut Bantu Kebutuhan Karantina 6.000 Santri di Banyuwangi. Kompas.Id. KompasÂ
Sari, R. M. (2020). Keharmonisan dalam Kehidupan Umat Beragama: Perspektif Pendeta di Indonesia. 1-14.
Subarkah, M. (2016). Neraka Poso: Konflik Islam-Kristen, Warga Keturunan, Santoso, dan Tibo. Republika.Co.Id. RepublikaÂ
Widianto, E. (2015). Umat Muslim di Malang salat Ied di halaman gereja. BBC.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI