Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jenis Kelamin X, bukan LGBT

22 Januari 2018   17:07 Diperbarui: 22 Januari 2018   17:13 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di media sosial ramai dibicarakan orang. Katanya, DPR Republik Indonesia, atau setidaknya beberapa fraksi di DPR menyetujui legalisasi LGBT. Sontak saja, wacana ini, memancing perhatian banyak kalangan, khususnya mereka yang berasal dari kelompok penjaga moral, termasuk umat Islam. 

Namun demikian, jika kita menyimak penjelasan elit politik di DPR, justru melihatnya ada kesalahpahaman, atau mereka menduga para pengguna medsos gagalpaham terhadap gagasan yang berkembang di dalam gedung wakil rakyat tersebut.

Menyimak perbincangan yang berkembang, khususnya di media elektronik, memaksa warga negara kita untuk sedikit menggunakan nalar, supaya  kita akan bisa memahami kesalah-pahaman masyarakat kita.

Pertama, sebagai individu  para pelaku LGBT adalah warga negara memiliki hak yang sama dengan warga negara lain. Mereka memiliki hak untuk mendapat layanan pendidikan, kesehatan, mata pencaharian, dan juga hak politik. Setiap orang tidak boleh menghalangi atau membatasi mereka. Ini adalah point pertama.  

Dengan kata lain, titik pokok pikirannya adalah LGBT sebagai individu, sebagai warga negara, sebagai pribadi, yang harus dihargai hak -hak dasarnya.  Tidak boleh ada yang mengusir atau membuly-nya. Tampaknya, untuk hal yang satu ini, akan dapat dengan mudah mendapat dukungan dari orang lain.

Sebagai individu, seorang warga negara laki-laki memiliki hak yang sama, dengan warga negara perempuan. Demikian pula dengan warga negara berjenis kelamin "X". Jenis kelamin X, ada yang bersifat kultural, yaitu seiring perkembangan psikososialnya, dan ada pula hasil dari pengaruh teknologi, seperti transgender. Namun demikian,  mereka tetaplah warga negara yang harus sama-sama di lindungi hak-hak dasarnya.

Kedua, LGBT sebagai kelakuan. Untuk yang satu ini, terjadi sebuah keragaman persepsi. Setidaknya, pro kontra terhadap kelakuan ini, sangat terasa di masyarakat. Ada yang mendukung, dan ada pula yang menolaknya. Untuk kasus yang kedua inilah, pada "umumnya", masyarakat Indonesia menolak, setidaknya itulah yang kita rasakan di arus bawah, seperti sebagian besar  umat Islam.

Umat Islam tidak mentolerir perkawinan sejenis, tetapi mengaku keberadaan waria (jenis kelamin X), dalam kajian Fiqh ISlam, disebutnya Khunts. Wacana ini, sudah menjadi bagian khusus dalam kajian hukum agama Islam. Artinya, gejala waria itu diakui keberadaannya, tetapi LGBT terlarang keberadaannya. 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun