Mohon tunggu...
Mohammad Sidik Nugraha
Mohammad Sidik Nugraha Mohon Tunggu... Editor - Textpreneur

Lahir dan besar di Bandung. Pernah rutin mengunjungi Perpustakaan Daerah Jawa Barat, bahkan sebelum jam buka dan pegawainya datang, karena ketagihan baca komik "Dragon Ball". Sejak 2007, berkecimpung di bidang penerbitan buku sebagai editor, proofreader, penerjemah, dan penulis.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

“Berapa Kali Kencingnya, Bu?”

8 April 2016   09:23 Diperbarui: 8 April 2016   09:43 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Itulah pertanyaan pertama yang selalu dikatakan oleh para perawat kepada ibu saya setiap pagi, kira-kira jam setengah enam. Biasanya mereka bertanya seperti itu setelah memeriksa tekanan darah dan suhu tubuhnya. Selama lima hari empat malam dirawat inap di rumah sakit, dia mendapatkan nutrisi dan antibiotik dari cairan infus. Karena dia memperoleh asupan zat cair lebih banyak ketimbang makanan padat, mereka lebih memperhatikan kencingnya dibandingkan beraknya.

Pertanyaan para perawat itu membawa ingatan saya melayang ke masa sekolah menengah. Entah SMP atau SMA, saya tidak yakin. Ketika itu, saya belajar sistem ekskresi dalam mata pelajaran biologi. Mungkin, karena mendengarkan penjelasan guru sambil mengantuk, saya tidak terlalu ingat definisinya. Akan tetapi, seorang keponakan saya yang bersekolah kelas IX SMP diberi tugas tentang sistem itu dan secara kebetulan saya membaca lembar tugasnya.

Begini penjelasan, yang sepertinya dicomot dari Wikipedia, mengenai sistem ekskresi dilembar tugas keponakan saya itu: Proses pengeluaran zat metabolisme, baik berupa zat cair maupun zat gas. Zat sisa itu berupa urin (ginjal), keringat (kulit), empedu (hati), dan CO2 (paru-paru). Zat-zat ini harus dikeluarkan karena jika tidak akan mengganggu bahkan meracuni tubuh.

Selain mata pelajaran biologi, saya juga teringat akan pola ekskresi tubuh saya sendiri. Ketika masih biasa minum kopi tiga kali dan makan nasi sekali sehari saat jadi pembuat koran, saya bisa kencing lebih kurang sepuluh kali sehari semalam. Ini jelas menandakan ginjal saya bekerja sangat keras. Belakangan ini, saya mencoba pola asupan baru per hari: makan nasi dua kali, minum kopi pahit satu kali, dan lebih sering minum air putih. Hasilnya, kerja ginjal saya lebih ringan dan saya kencing lebih kurang lima kali sehari semalam. Kenyataan yang sangat berbeda, saya dapati pada bulan puasa saat saya tidak mengopi sama sekali. Pada bulan itu, saya cuma kencing dua kali: beberapa saat setelah bangun tidur sekitar jam setengah empat subuh dan sebelum asar sekitar jam tiga lewat seperempat sore. Ginjal saya lebih banyak beristirahat selama puasa. Namun, jika meriang, saya kencing lebih sering yang menandakan sistem kekebalan tubuh bekerja untuk mengeluarkan racun dan mengatur suhu badan.

*

Bahasa Indonesia punya beberapa pilihan kata selain kencing sebagai kata kerja. Di antaranya: berkemih, pipis, mengompol, dan buang air kecil. Frasa terakhir agaknya tercipta akibat kebiasaan orang Indonesia yang suka menghaluskan-haluskan bahasa secara berlebihan. Saya tidak yakin apakah kecil dan besar dapat dipakai untuk menyifati air karena sepertinya sedikit dan banyak lebih tepat. Pipis mengesankan makna akrab dan kekanak-kanakan. Karena berarti kencing dalam celana, mengompol bernuansa jorok. Berkemih kerap dipilih sebagai istilah formal dan banyak digunakan dalam bidang kedokteran.  

Kencing bernuansa makna netral. Oleh karena itu, kata ini memiliki kelugasan sehingga, seperti kemih, dipakai dalam istilah kedokteran: kencing batu, kencing nanah, dan kencing manis (diabetes melitus). Istilah ketiga menjadi tajuk utama di Kompas hari ini (8/4/2016). Koran itu melaporkan: WHO mengusung tema global Hari Kesehatan Sedunia tahun ini “Beat Diabetes”. Di Indonesia, tema itu menjadi “Cegah, Obati, Lawan Diabetes”.

Selain itu, kencing digunakan dalam beberapa peribahasa. Satu di antaranya: Guru kencing berdiri, murid kencing berlari yang (jika diartikan secara bebas) lebih kurang berarti jangan memberikan contoh yang tidak baik. Baru-baru ini sosok Zaskia Gotik ramai dibicarakan karena dianggap menghina lambang negara, tetapi kemudian dijadikan Duta Pancasila oleh Partai Kebangkitan Bangsa. Barangkali kelakuan Zaskia ini bisa dimasukkan dalam peribahasa dari Arab yang berarti buatlah kontroversi supaya jadi pusat perhatian: Kalau ingin terkenal, kencingilah sumur zamzam.

Jakarta, 8 April 2016

Moh. Sidik Nugraha

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun