Melihat fenomena yang sedang ramai belakangan ini, mari kita coba sejenak memakai kacamata yang berbeda. Oh iya, disclaimer dulu: bukan berarti saya mendukung apa yang diberitakan oleh Trans7. Saya hanya ingin mengajak kita semua melihat fenomena ini dari sisi yang berbeda.
Kita semua tahu, Oktober ini adalah bulan Hari Santri Nasional. Bulan yang seharusnya menjadi kado indah bagi kaum santri. Tapi apa yang terjadi? Justru kita, para santri, disuguhi “kado” yang pahit: banjir komentar pedas di media sosial. Rasanya tentu menyakitkan.
Namun, apakah kita tidak mau sedikit bercermin? Bukankah selama ini mereka—orang-orang yang mengkritik—adalah bagian dari efek domino yang muncul karena sebagian akademisi pesantren cenderung antikritik dan defensif? Hingga akhirnya, muncul framing terhadap para tokoh sepuh pesantren.
Pertanyaannya, pernahkah kita benar-benar memikirkan dari mana argumen-argumen mereka berasal? Atas dasar apa mereka berbicara seperti itu? Apakah berdasar fakta atau hanya asumsi? Jangan-jangan, selama ini kita menutup diri dari hal-hal seperti itu, sampai akhirnya sesuatu yang besar pun terjadi.
Kalau saja kita mau sedikit mawas diri, mungkin kita akan sadar bahwa semua ini datang dari kita sendiri. Iya, dari kita—umat Islam yang kadang punya standar ganda. Umat Islam yang sering berlindung di balik kalimat sakti, “Wong liyo ngerti opo.”
Kalimat itu terdengar sederhana, tapi efeknya panjang. Karena, sadar atau tidak, masalahnya memang berangkat dari kita sendiri. Maaf, khususnya dari kalangan NU. Selama ini kita terlalu sering diam, tidak melakukan tindakan nyata, dan hanya mengeluarkan pembelaan kecil saat diserang.
Padahal, masyarakat awam sudah lama memperhatikan perilaku sebagian oknum pemuka agama yang kita biarkan begitu saja. Contohnya? Ya, banyak dan kita semua pasti tahu. Bayangkan saja, ada acara yang isinya meludahi pengikutnya lalu menyuruh menelan ludah itu dengan dalih “ngalap barokah.” Ada pula yang menyuruh pengikutnya merangkak mencium kaki dan disaksikan banyak orang. Belum lagi oknum habaib dengan cerita-cerita yang sulit diterima nalar di zaman sekarang.
Ada juga penceramah yang isi ceramahnya penuh dengan sindiran kasar, bahkan ada kajian yang berubah jadi ajang joget-joget. Ironisnya, hal-hal seperti ini sudah sering terjadi dan kita tahu betul.
Sementara di sisi lain, ceramah yang tenang dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat awam—sebut saja misalnya dari kelompok Wahabi—justru dilarang, bahkan dibubarkan. Masyarakat awam tentu tidak paham perbedaan antara Wahabi dan Ahlussunnah. Mereka tidak mau tahu ini aliran apa dan itu aliran apa. Bagi mereka, yang penting ceramahnya jelas, adem dan tidak bikin risih.
Hal-hal seperti inilah yang perlahan membuat orang awam muak. Kajian yang adem justru ditutup, sementara yang aneh malah dijaga. Akhirnya, muncul persepsi bahwa agama ini punya standar ganda.
Seharusnya, MUI dan lembaga keagamaan lainnya bisa bersikap tegas. Harus ada standar yang jelas bagi para penceramah, tanpa pandang bulu. Jika isi ceramahnya sedikit melenceng bahkan sampai tidak masuk akal, ya seharusnya dilarang. Jangan hanya karena berasal dari kalangan yang sama, lalu dibiarkan begitu saja.