Mohon tunggu...
Mohammad Reza
Mohammad Reza Mohon Tunggu... Freelancer - Low profil

Belajar beropini. #MahasiswaBisaBeropini

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kelebihan dan Kekurangan Sistem Parliamentary Threshold dalam Pemilu bagi Kurasi di Parlemen dan Parpol

15 Januari 2020   03:36 Diperbarui: 14 Desember 2021   12:23 1486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Pemilu 2009 (KOMPAS/MAHDI MUHAMMAD )

Mohammad Reza,

Mahasiswa Ilmu Politik, Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta

KELEBIHAN DAN KEKURANGAN SISTEM PARLIAMENTARY THRESHOLD PADA PEMILU  BAGI KURSI DI PARLEMEN DAN PARTAI POLITIK

Pemilu adalah salah satu wujud pelaksanaan demokrasi. Karenanya pada saat pemilu, pada saat itu juga disebut-sebut sebagai pesta demokrasi. Pemilu merupakan pasar politik tempat individu dan atau kelompok berinteraksi dengan melakukan perjanjian kepada masyarakat.

Lebih jelasnya, pemilu adalah dimana peserta pemilihan umum individu maupun partai politik berlomba-lomba untuk memikat hati rakyat sebagai penentu atas hak pilihnya dengan berbagai cara yaitu dengan sosialisasi politik sekaligus berkampanye, propaganda, promosi politik melalui media, sebar spanduk, hingga penyampaian visi misi, program serta penyampaian asas dan ideologi. 

Kampanye pemilihan umum merupakan suatu usaha untuk mempengaruhi rakyat secara persuasif (tidak memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, public relations, komunikasi massa, loby dan lain-lain kegiatan (Arifin, 2006: 39).

Berbeda sedikit dengan persepektif lain, bahwa pemilihan umum diartikan sebagai mekanisme penyeleksi dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada orang atau partai yang dipercayai (Surbakti, 1992: 226.) Sedangkan menurut Budiardjo, pemilihan umum dianggap sebagai lambang dan tolok ukur dari demokrasi yang juga perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang bersifat kesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan politik, lobbying, dan semacamnya. 

Budiardjo melanjutkan bahwa pada hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi masyarakat (Budiardjo, 2016: 461).

Hal ini, dalam kontestasi pemilu, tidak lepas berbicara mengenai partai politik yang melakukan strategi politiknya untuk berkampanye politik yang nantinya menghasilkan perolehan suara oleh penyelenggara pemilu dan berdampak pada perolehan suara partai secara nasional atau pusat maupun lokal atau daerah pada pemilihan legislatif.

Di Indonesia, pemilu sudah dilakukan sejak tahun 1955 pada masa demokrasi parlementer hingga sampai pada April 2019 yang dimana pemilu saat ini dilakukan secara serentak dengan memilih presiden dan legislatif. Pemilihan umum (Pemilu) 2019 merupakan pemilihan presiden dan legislatif yang diadakan secara serentak.

Digelarnya pemilu serentak ini adalah berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14 / PUU-11/2013 tentang pemilu serentak, yang bertujuan untuk meminimalkan anggaran negara dalam pelaksanaan pemilu, meminimalisir anggaran kampanye bagi peserta pemilu, serta politik uang yang melibatkan pemilih, penyalahgunaan kekuasaan atau mencegah politisasi birokrasi, dan merampingkan skema kerja pemerintah.

Pada pemilihan umum 2019 yang dilakukan secara serentak, khususnya pemilu legislatif di tingkat nasional, terdapat 16 partai politik yang menjadi peserta pemilu 2019. 

Partai politik maupun calon-calon legislatif partai ini berkompetisi dan saling menunjukkan strategi dan kampanye politikya, ada yang berkampanye melalui komunikasi politik secara langsung ada juga yang melalui kekuatan media.

Namun dengan dikeluarkannya  Pasal 415 UU. 7/2017 tentang Undang-Undang Pemilu yang menyatakan bila partai tidak memenuhi ambang batas perolehan suara, partai tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR di setiap dapil, membuat partai politik yang perolehan suaranya tidak mencapai parliamentary threshold atau ambang batas perolehan suara tidak memiliki keterwakilan di Dewan Perwakilan Rakyat di pusat, Senayan.

Akibatnya, banyak partai politik peserta pemilu 2019 yang tidak memiliki keterwakilan di dalam parlemen di tingkat nasional, khususnya partai-partai baru.

Tercatat dari 16 partai politik, terdapat 9 partai politik yang perolehan suaranya mencapai lebih dari 4% ambang batas parliamentary threshold, antara lain, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Gerindra, Pertai Golkar, Partai Nasdem, Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan. 

Ketujuh partai politik lainnya tidak mencapai 4%, partai-partai politik tersebut ialah, Partai Hanura, Partai Bulan Bintang, PKPI, dan empat partai baru yakni, Partai Garuda, Partai Berkarya, Partai Solidaritas Indonesia, dan Partai Perindo.

Secara historis, pada penerapan pemilu 2009, yang dimana berdasarkan pada Pasal 202 UU. No. 10 Tahun 2008 tentang Undang-Undang Pemilu, ambang batas parliamentary threshold ditentukan sebesar 2,5%. 

Kemudian di pemilu-pemilu berikutnya pemberlakuan ambang batas parlemen ini semakin meningkat. Pada pemilu 2014, yang dimana menurut UU. No. 8 Tahun 2012 ditentukan sebesar 3,5% ambang batas parlemen yang artinya meningkat 1%. Pada pemilu yang diselenggarakan terakhir 2019 lalu, meningkat 0,5% yaitu 4% ambang batas parliamentary threshold.

Pada praktiknya, ambang batas parliamentary threshold ini dinilai membuat partai-partai baru sulit lolos ke parlemen di tingkat pusat. Pemberlakuan sistem ambang batas parlemen ini menjadi kendala masuknya partai-partai baru untuk melenggangkan partai politiknya untuk duduk di kursi parlemen.

Meskipun calon-calon legislatif DPR partai memiliki perolehan suara yang besar di daerah pemilihannya masing-masing, namun ketika perolehan suara partai tidak melebihi ambang batas parlemen yang saat ini mencapai 4%, suara-suara mereka hangus dan tidak diperhitungkan di dalam parlemen di tingkat pusat. Artinya tidak memiliki keterwakilan partai-partai ini untuk duduk di kursi parlemen di tingkat pusat.

Selain itu, dengan diadakannya sistem parliementary threshold ini dirasa hanya membuat suara masyarakat sebagai warga negara yang melakukan hak pilihnya dalam memilih calon-calon legislatif DPR yang mereka percaya dan menaruh harapan kepada calon-calon ini terbuang begitu saja.

Sebab pada saat pemilih memilih calon legislatif ataupun partai politik, itu adalah pilihan politik ideologis yang dimana mereka memiliki harapan dan ekspektasi kepada caleg-caleg atau kepada partai politik yang dipilih. Ini sama saja suara-suara, kehendak, keinginan, ekspektasi, harapan, dan cita-cita mereka yang memilih tidak ada yang mewakili.

Namun di tengah respon atas diberlakukannya sistem ambang batas parlemen ini,  terdapat jalan tengah atau komprominya, misalnya, dapat diberlakukan juga untuk partai-partai yang tidak lolos agar menggabungkan diri yang kemudian menyepakati sendiri kursi sesuai dengan persentase masing-masing perolehan suara partai politiknya dan membentuk satu fraksi dalam parlemen di tingkat pusat.

Hal ini dapat membuat partai-partai politik yang tidak lolos PT atau tidak mendapatkan jatah di parlemen dapat menjadikan harapan-harapan rakyat, keinginan rakyat, dan kehendak rakyat agar menjadi keharusan untuk diperjuangkan oleh partai yang tidak lolos PT yang kemudia tetap dapat menempatkan wakilnya.

Meski begitu, sistem ambang batas PT (parliamentary threshold) ini memiliki tujuan agar sistem multipartai di Indonesia ini dapat disederhanakan, untuk itu diberlakukannya sistem ambang batas parlemen. Selain itu juga sistem ambang batas parlemen ini dapat menjauhkan partai-partai politik di Indonesia dari ideologi-ideologi partai politik yang tidak sejalan dengan ideologi negara yaitu Ideologi Pancasila.

Sebab partai-partai politik yang memiliki ideologi yang menyimpang dari Pancasila dirasa tidak banyak yang memilih di tengah kuatnya paham ideologi Pancasila di Indonesia. Untuk itu diadakannya ambang batas parliamentary threshold ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun