Pendidikan tinggi merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan sumber daya manusia yang unggul, adaptif terhadap perubahan, serta mampu bersaing dalam lanskap global yang semakin kompleks. Dalam konteks Indonesia, fungsi strategis pendidikan tinggi telah diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang menegaskan bahwa penyelenggaraan pendidikan tinggi merupakan tanggung jawab bersama antara negara dan masyarakat. Artinya, tidak hanya Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang menjadi ujung tombak pencapaian tujuan pendidikan nasional, tetapi juga Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang turut memainkan peran penting dalam menjangkau kelompok masyarakat luas.
Secara statistik, lebih dari 70% institusi pendidikan tinggi di Indonesia merupakan PTS, yang tersebar dari pusat hingga ke daerah terpencil. PTS telah menjadi instrumen strategis dalam membuka akses pendidikan tinggi bagi masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah yang sering kali tidak memiliki cukup modal ekonomi atau sosial untuk menembus seleksi PTN. Dengan kata lain, keberadaan PTS tidak hanya berkontribusi pada peningkatan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi, tetapi juga berperan sebagai mobilizing agent dalam mengakselerasi mobilitas sosial dan ekonomi masyarakat akar rumput.
Namun, dalam realitas sistem pendidikan tinggi nasional, PTS kerap berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, PTS dituntut untuk memenuhi standar mutu akademik yang setara dengan PTN, meliputi tata kelola kelembagaan yang transparan dan akuntabel, kurikulum berbasis kompetensi yang responsif terhadap dinamika industri, serta output lulusan yang memiliki daya saing di pasar kerja nasional maupun global. Di sisi lain, PTS dihadapkan pada berbagai kendala struktural seperti keterbatasan sumber daya finansial, ketimpangan dalam akses terhadap kebijakan pemerintah, rendahnya daya saing institusional, dan terbatasnya infrastruktur penunjang pembelajaran.
Kondisi ini diperparah oleh fenomena ekspansi Perguruan Tinggi Negeri ke daerah-daerah melalui pembukaan Program Studi di Luar Kampus Utama (PSDKU), yang secara tidak langsung menciptakan tekanan kompetitif terhadap keberlangsungan PTS lokal. Masyarakat, didorong oleh persepsi terhadap kualitas dan biaya yang lebih rendah, cenderung beralih ke PTN, sehingga menyebabkan banyak PTS mengalami penurunan drastis dalam jumlah mahasiswa baru. Tanpa intervensi kebijakan afirmatif, situasi ini berisiko memperlebar kesenjangan antara PTN dan PTS, serta mengancam kelangsungan institusi-institusi pendidikan tinggi yang selama ini menjadi frontline dalam melayani pendidikan masyarakat luas.
Dengan demikian, peran strategis PTS dalam mendidik anak bangsa tidak bisa dipisahkan dari kerangka pembangunan nasional. Untuk memastikan PTS tetap dapat menjalankan fungsinya secara optimal, diperlukan kebijakan yang tidak hanya bersifat normatif dan administratif, tetapi juga bersifat afirmatif, kontekstual, dan inklusif. Dukungan negara terhadap PTS bukan sekadar bentuk fasilitasi kelembagaan, melainkan juga manifestasi dari tanggung jawab konstitusional dalam menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan tinggi yang bermutu dan merata.
Krisis Pendanaan dan Keterbatasan Infrastruktur
Isu pendanaan merupakan tantangan fundamental yang dihadapi mayoritas Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Indonesia. Tidak seperti Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang memperoleh alokasi dana rutin dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sebagian besar PTS harus mengandalkan sumber pembiayaan internal, yang utamanya berasal dari biaya pendidikan yang dibayarkan oleh mahasiswa. Ketergantungan tinggi terhadap pendapatan berbasis jumlah mahasiswa ini menciptakan kerentanan struktural yang signifikan, terutama ketika terjadi penurunan angka pendaftaran mahasiswa baru.
Situasi tersebut menjadikan banyak PTS mengalami krisis likuiditas, yang tidak hanya mengganggu kesinambungan operasional harian, tetapi juga berdampak pada aspek strategis institusi seperti pengembangan sarana dan prasarana pembelajaran, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, serta pemberian remunerasi yang layak kepada dosen dan tenaga kependidikan. Dalam jangka panjang, kondisi ini memunculkan efek domino terhadap mutu akademik dan reputasi institusi, yang pada gilirannya semakin menyulitkan proses rekrutmen mahasiswa di tahun-tahun berikutnya.
Minimnya akses terhadap sumber pendanaan alternatif---baik dari pemerintah, dunia usaha, maupun lembaga donor---membatasi kemampuan PTS untuk melakukan investasi dalam penguatan kapasitas kelembagaan. Misalnya, di era pascapandemi COVID-19, ketika digitalisasi pembelajaran menjadi keniscayaan, banyak PTS tidak mampu mengadopsi teknologi pembelajaran daring secara menyeluruh karena keterbatasan anggaran untuk perangkat keras, perangkat lunak, pelatihan dosen, serta pengembangan sistem manajemen pembelajaran berbasis teknologi (LMS). Hal ini memperlebar jurang transformasi digital antara PTS dan PTN, yang sebagian besar telah memperoleh dukungan negara melalui program nasional seperti Kampus Merdeka Digital, bantuan TIK, dan insentif program hybrid learning.
Lebih jauh, tantangan dalam pendanaan juga menghambat upaya PTS untuk membangun laboratorium berbasis industri, mengembangkan pusat inovasi dan inkubasi bisnis, serta menjalin kemitraan riset produktif dengan dunia usaha. Padahal, ekosistem tersebut sangat penting dalam mewujudkan pendidikan tinggi yang relevan dan aplikatif sesuai dengan kebutuhan dunia kerja dan era Revolusi Industri 4.0.
Tanpa insentif fiskal yang adil dan afirmatif dari negara, PTS akan terus mengalami keterbelakangan secara struktural dibandingkan PTN. Ketimpangan ini berpotensi melanggengkan dualisme kualitas pendidikan tinggi di Indonesia---antara yang mampu bertahan dengan dukungan negara dan yang berjuang sendiri dengan sumber daya terbatas. Oleh karena itu, dibutuhkan reformasi kebijakan pembiayaan pendidikan tinggi yang tidak hanya berfokus pada efisiensi anggaran negara, tetapi juga menjamin kesetaraan peluang kelembagaan bagi seluruh entitas pendidikan tinggi, termasuk PTS sebagai mitra sejajar dalam membangun masa depan bangsa.