Mohon tunggu...
Yamin Mohamad
Yamin Mohamad Mohon Tunggu... Guru - Ayah 3 anak, cucu seorang guru ngaji dan pemintal tali.

Guru SD yang "mengaku sebagai penulis". Saat kanak-kanak pernah tidak memiliki cita-cita. Hanya bisa menulis yang ringan-ringan belaka. Tangan kurus ini tidak kuat mengangkat yang berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Solidaritas Sosial Suku Sasak dalam "Tetaring" dan Keranda Jenazah

17 Maret 2022   09:56 Diperbarui: 17 Maret 2022   10:04 985
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sinilah warga tampil bekerja bersama-sama membantu keluarga menyiapkan makanan, Makanan yang dimasak diambil dari pelangar yang dibawa warga. Pada saat yang sama, pelayat tentu saja tidak berfikir bahwa mereka tidak dalam posisi sebagai tamu. Mereka datang ke rumah duka semata-mata untuk menunjukkan sikap belasungkawa.

Para laki-laki pun tidak ketinggalan. Mereka membersihkan area di sekitar rumah duka atau mendirikan tetaring, semacam naungan sementara tempat menerima tamu atau tempat melaksanakan acara hajatan. Tetaring itu pula yang digunakan sebagai tempat tahlilan selama sembilan hari karena tidak mungkin menampung warga yang datang di dalam rumah. 

Naungan sementara itu menggunakan tiang bambu. Pada masa lampau atapnya menggunakan ilalang atau kelansah (daun kelapa yang telah dianyam). Kini atap tetaring lebih praktis karena menggunakan naungan terpal. Sebagian orang sudah menggunakan terop. Pada daerah lain di Indonesia, seperti di Bali, tetaring merupakan naungan yang familiar.

Sebagian dari warga laki-laki juga menyiapkan liang pemakaman. Tidak ada layanan jasa gali kubur. Semua warga bisa berperan sebagai penggali kubur secara sukarela. Satu hal yang menarik, penggalian kubur biasanya diawali oleh orang-orang tertentu yang dianggap tetua di kampung. Tetua yang dipercaya itu bisa pemuka agama atau kiai. 

Pihak keluarga hanya menyiapkan andang-andang, semacam persyaratan yang disediakan pihak keluarga untuk penggali kuburan. Persyaratan itu berupa beras seadanya, segelas air, sirih, buah pinang, dan uang sekadarnya. 

Andang-andang itu jarang diambil penggali kubur. Andaipun ada yang mengambilnya, para penggali kubur hanya mengambil sejumput beras untuk dimakan mentah di tempat. Ada pula yang hanya mencelupkan jemari ke dalam air kemudian diusapkan ke matanya. Ini dilakukan sebagai bukti bahwa andang-andang itu telah diterima para penggali. Tanpa andang-andang warga yang menggali kubur dipercaya dapat terpapar penyakit tertentu.


Pada sejumlah tempat, beberapa keperluan untuk pemandian jenazah sampai pemakaman sudah mengalami perubahan. Untuk memandikan jenazah sekarang telah banyak digunakan meja pemandian. Namun, di kampung saya meja pemandian tidak digunakan. Keluarga lebih memilih memangku jenazah dengan duduk berselonjor secara berhadap-hadapan. Mereka biasanya merupakan keluarga terdekat--anak, cucu, saudara, dan keluarga dekat lainnya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada jenazah. 

Warga berbagi tugas, tidak ada yang berpangku tangan dalam membantu keluarga yang berduka. Kurung batang atau Keranda, sebagai salah satu perlengkapan utama, juga dibuat warga secara bersama-sama. Pada umumnya keranda terbuat dari bambu. Walau pun saat ini di berbagai tempat telah banyak digunakan keranda permanen yang terbuat dari besi tahan karat keranda berbahan bambu tetap dipertahankan. Warga lebih memilih membuat keranda baru dengan bahan bambu.

Dengan membuat keranda bambu warga tidak datang hanya untuk berpangku tangan. Kehadirannya di rumah duka harus memberikan sesuatu kepada keluarga yang berduka. Paling tidak sumbangan tenaga dengan bersama-sama membuat tetaring, memasak untuk pelayat dari tempat yang jauh, atau membuat keranda. Inilah bentuk empati paling primordial warisan leluhur. 

Munculnya empati itu dengan serta merta menciptakan kecenderungan seseorang untuk mengikat diri dalam kehidupan bersama yang sering disebut dengan solidaritas sosial. 

Masih banyak lagi warisan praktek postif tradisi masyarakat Indonesia yang bernilai luhur. Sebagian warisan itu masih bertahan dan sebagian lagi tertimbun zaman yang telah membiakkan gaya hidup individual dan pragmatis.

Lombok Timur, 17 Maret 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun